Mengajarkan Komunikasi 'Survival' kepada Anak

Oleh zata ligouw pada Senin, 16 November 2015
Seputar Our Stories

Jujur saja, saya ibu yang kadang over protective terhadap anak-anak justru saat mereka semakin besar. Di satu sisi, saya ingin anak-anak bisa survive menghadapi kehidupan di dunia ini. Namun di sisi lain kadangkala saya tak tega saat mereka harus mengalami proses survival tersebut. Berkat dukungan suami serta campur tangannya yang besar dalam mendidik anak-anak , saya pun bisa belajar 'melepaskan' mereka mengikuti proses yang seharusnya mereka jalani agar life skills mereka terasah semakin baik dan lebih baik lagi.


Belum lama ini ada pengalaman yang cukup mendebarkan dada. Anak pertama saya yang bisa dibilang 'anak mami' bersekolah cukup jauh dari rumah, di mana ia diharapkan untuk bisa mengurus semua keperluan yang berhubungan dengan sekolahnya sendiri. Saya yang justru belum siap karena belum lama, saat abang SD, hampir semua keperluan yang berkaitan dengan sekolahnya saya yang mengurus, dari mulai membeli baju seragam di sekolah, membeli buku paket, bertanya soal ekstra kurikuler (ekskul), membayar iuran sekolah, menghubungi pihak katering, dan lain sebagainya.


Saat sudah SMP, suatu hari, ia berangkat ke sekolah tanpa membawa telepon genggam karena sedang diperbaiki. Hari itu ia berangkat naik jemputan namun bilang bahwa ia akan pulang naik ojek karena di sekolahnya akan ada pemilihan ketua dan wakil ketua Pratama di mana ia menjadi salah satu kandidat. Saya bilang padanya bahwa kalau situasinya seperti itu, saya akan mengirim ojek untuk menjemputnya agar ia bisa pulang bersama ojek yang kami kenal. Ia bilang tidak usah karena belum tahu jam berapa acara pemilihan akan selesai. Saya cemas, namun suami bilang biarkan saja si anak yang memutuskan karena ia lebih tahu situasinya dibandingkan kami. Akhirnya saya setuju.


Perkiraan saya, ia akan pulang paling telat jam 4.30 sore, namun tunggu punya tunggu, saat maghrib pun ia belum tiba. Saya menelepon sekolah, tidak ada yang mengangkat. Tentu saja karena semua staf sekolah pasti sudah pulang pada jam tersebut. Saya pun mengirim pesan kepada suami yang kebetulan sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, ia langsung belok arah menuju sekolah anak saya. Sampai di sana, sekolah sudah kosong. Saya dan suami sangat resah, namun di dasar hati kecil kami yang paling dalam, kami tahu bahwa anak kami bisa menyelesaikan masalahnya dan kembali ke rumah dengan selamat. Alhamdulillah, jam 7 malam ia sampai dan meminta uang untuk bayar ojek karena uangnya tidak cukup. Ia terlihat sangat lelah. Ternyata kelelahannya adalah karena proses pemilihan ketua Pratama yang berat dan melelahkan juga karena ia harus berjalan sekitar 3-4 kilometer sebelum akhirnya menemukan ojek karena saat itu sudah maghrib dan kebanyakan ojek pulang ke rumah atau sedang 'narik' juga. Mendengar ceritanya, saya hampir menangis. Suami pun segera mencolek dan menasihati saya, "Jangan buat proses yang baru ia lewati sebagai sesuatu yang menyedihkan, tapi sebagai sesuatu yang membanggakan."


Kemampuan komunikasi abang sangat bagus untuk sehari-hari, namun saya tersadar bahwa kemampuan komunikasinya untuk survival ternyata masih kurang. Ia masih seringkali malu untuk banyak bertanya, contohnya saat ia mencari ojek. Ia hanya bertanya sesekali dan lebih memilih untuk mencari sendiri meski pun harus berjalan sangat jauh.

Di dunia modern saat ini, di mana kita dan anak-anak bergantung pada gadget, ternyata sudah sangat mengikis kemampuan komunikasi survival ini. Saat ingin mencari tahu tentang sesuatu, daripada bertanya pada orang lain jadinya lebih memilih bertanya pada 'mbah Google'. Saat ingin memesan sesuatu, saya cukup meng-install aplikasinya dan klik 'pesan', tak lagi perlu repot-repot menelepon untuk melakukan reservasi.


Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali saya memesan taksi lewat telepon, di mana saya harus berbicara dengan operator, menerangkan beberapa hal dan seterusnya. Ouch! Ini dia yang juga diaplikasikan oleh anak-anak saya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi terbayang 'kan, saat abang tidak membawa smartphone ke sekolahnya, ia langsung mendapat 'masalah', padahal jika ada smartphone miliknya, ia bisa langsung mengklik untuk pesan layanan ojek atau taksi yang sudah biasa saya pesan.

[caption id="attachment_111987" align="aligncenter" width="400" caption="(gambar: www.freedigitalphotos.net)"][/caption]


Intinya, gadget memang mempermudah kehidupan, namun kenyataannya turut mengikis daya survival yang harusnya tetap kita miliki untuk menghadapi masalah yang tidak terduga. Jadi, membiasakan anak untuk berani bertanya, memesan sesuatu atau bertransaksi langsung, atau menelepon layanan pesan-antar, call center/customer service untuk menanyakan sesuatu adalah hal yang sangat baik dalam melatih kemampuan berkomunikasi mereka. Terhadap abang pun saya sudah berusaha untuk membiarkan ia yang bertanya segala macam kepada pihak sekolah mengenai buku-buku, seragam, ekskul, dan lain sebagainya. Awalnya saya menerima penolakan saat ia berkata, "Ma, temen-temenku katanya diurusin sama ibunya. Jadi ibunya datang ke koperasi sekolah dan pesen di sana." Hati kecil saya rasanya ingin melakukan hal yang sama, namun dengan berat hati saya menjelaskan padanya bahwa saya bisa saja melakukan hal tersebut, namun saya yakin, jika ia melakukannya sendiri, akan ada begitu banyak manfaat yang ia dapatkan, mulai dari keberanian untuk berbicara dengan orang dewasa lain, kemampuan menggali informasi (seperti apa saja yang dibutuhkan untuk mendapat seragam dan buku sekolah, berapa biayanya, kapan harus ukur, kapan paling telat untuk melakukan pembayaran, dan seterusnya).


Dalam prosesnya pun, abang belajar soal 'bertanya pada orang yang tepat.' Saat minggu-minggu awal di SMP, ia ingin ikut kegiatan ekskul namun belum tahu ekskul apa saja yang ada di sekolahnya. Saya minta ia untuk langsung bertanya ke bagian tata usaha sekaligus untuk mengetahui jadwalnya. Pulang ke rumah saya tanya, apakah tugas bertanya ke tata usaha sudah dilakukan? Ia menggeleng, namun sebelum sempat saya bereaksi ia segera menjawab, "Tapi aku udah tanya temenku kok, katany hari Sabtu ini ada ekskul futsal, jadi aku dateng ya, ma." Saya tahu, ia enggan dan malu bertanya ke bagian tata usaha, apalagi ia masih sangat baru di sekolah tersebut.


Pada hari Sabtu, saya dan suami mengantarnya ke sekolah. Suasana di sekolah terlihat sangat sepi. Saya bertanya pada satpam, ternyata kegiatan ekskul memang belum dimulai karena masih disibukan dengan proses daftar ulang sekolah. Kegiatan ekskul baru akan aktif kembali pada bulan berikutnya. Abang mesem-mesem, antara malu dan merasa bersalah. Di situ ia kembali belajar bahwa bertanya kepada orang yang tepat, dalam hal ini pihak sekolah sebagai penyelenggara ekskul, adalah yang paling benar karena meski pun si teman mungkin juga punya informasi namun mereka sama-sama anak baru seperti abang. Saya bilang pada abang bahwa tidak apa-apa untuk bertanya pada teman, namun sebaiknya, jika memungkinkan, bertanyalah pada pihak sekolah langsung. Yeslesson learned.

Dari kejadian tersebut, ada banyak hal yang membuat saya introspeksi diri. Saya pun semakin merasakan perlunya mengajarkan life skills pada anak-anak yang sudah beranjak remaja, dalam hal ini komunikasi untuk survival. Urban mama-papa ada yang mengalami hal serupa dengan si pra-remaja? Ada tips lainnya yang urban mama-papa lakukan dalam mengajarkan komunikasi untuk survival kepada anak?



21 Komentar
Afifah Rahmawati
Afifah Rahmawati November 26, 2015 8:05 am

mba zataaa.. ijin share ya..bagus banget artikelnya. Jadi manggut2 sendiri, meski anak belum beranjak dewasa saya langsung keinget keponakan saya yang seumuran. Persis! urusan sekolah-akademis oke, tapi giliran naik angkot, nanya jalan dia bengong. hiks..hiks...

Wulan Rahmadhany
Wulan Rahmadhany November 25, 2015 5:01 pm

Mbak Zata,artikelnya baguus, jadi inget bahasan ibu Elly Risman soal Princess syndrome yang banyak melanda anak2 jaman sekarang karena kemudahan dan fasilitas yang ada.

Patsy Patricia
Patsy Patricia November 24, 2015 2:59 pm

Mbak Zata, terima kasih sharingnya. Saya termasuk anak yang komunikasi survival nya jelek banget karena banyak diurusin mama. Sekarang jadi PR besar untuk ajarin anak saya mandiri. Dan suami juga mendukung untuk mengajarkan anak begitu. Artikel ini bikin hati makin mantap lagi untuk ngga "manjain" komunikasi nya anak. Tfs...

Retno Aini
Retno Aini November 23, 2015 5:31 pm

iniiiii bahasan-nya bagus banget! Tfs banget-bangett Zata :D baru bbrp hari lalu ngobrolin ini sama Baim. Komentarnya Baim sama bgt sama nasihatnya Sutan xD Trus jadi ingat, salah satu pesan2 masa kecil yg masih gw ingat sampai skrg itu adalah waktu bokap ngajarin ttg komunikasi utk survival skill, spt kalau nyasar di mall harus gimana, kalau nanya arah hanya ke petugas keamanan, dsb. Dan kerasa bgt itu ikut ngebangun self esteem gw (yg waktu itu) sebagai anak2

Honey Josep
Honey Josep November 19, 2015 9:03 am

Zataaa, oh begini rasanya punya anak remaja.... nanti aku tanya-tanya soal dunia remaja yaaaa...

Seringkali memang ibu yg melow jellow ya kalau urusan anak, tapi ternyata anaknya bisa!

Tfs Zata :)