Menggantikan Gadget dengan Buku

Oleh Dwi Septiani pada Selasa, 14 November 2017
Seputar Our Stories
Menggantikan Gadget dengan Buku

Hampir setiap ada waktu luang, Bagas (3 tahun 9 bulan) selalu membuka buku. Ke mana pun kami pergi, saya tidak lupa membawa beberapa judul buku atau kertas dan pensil untuk mewarnai. Semua hal yang disaksikannya selalu dibanding-bandingkan dengan yang ia lihat dibuku. Misalnya ketika melihat bintang laut bermata besar dalam bentuk animasi, sedangkan dalam foto aslinya hewan tersebut tidak memiliki mata, Bagas pun mencecar saya dengan banyak pertanyaan. Kemampuan mengingat isi bukunya juga sangat mengagumkan. Sering kali ia mengoceh sendiri menyebutkan nama hewan dan bahasa Inggris atau nama-nama planet dalam tata surya. Akhirnya keinginan saya untuk mengakrabkan Bagas dan buku perlahan terwujud. Orangtua mana yang tidak mengharapkan anaknya hobi membaca dibandingan bermain gadget. Meskipun saya bukan orang yang sangat hobi melahap buku. Biasanya saya hanya membaca buku berjenis novel, itu juga butuh waktu berminggu-minggu untuk dihabiskan.

Cara yang saya lakukan adalah membuka kembali buku-buku lama milik Bagas. Saya seolah-olah sangat menikmati bacaan tersebut, dan saya juga melakukannya dengan membaca nyaring karena lebih bermanfaat. Beberapa minggu sebelumnya saya membaca buku yang berjudul The Read Aloud Handbook karya Jim Trelease. Di halaman-halaman awal terdapat tulisan yang sangat membuat saya sadar dan mengakui kebenarannya. Intinya, jika kita ingin memperkenalkan pengalaman membaca kepada anak haruslah dengan cara yang tidak menyakitkan, sehingga seterusnya hal tersebut akan menjadi pengalaman yang menggembirakan. Saya pikir hal itu tidak hanya menjadi pedoman dalam hal membaca. Saya sebagai orangtua sering kali melakukan langkah awal yang salah kepada anak, sehingga hasilnya tidak seperti yang kita harapkan.

Tidak pernah sekalipun saya berkata "Bagas, ayo kita baca buku!" yang saya lakukan hanya membaca buku anak-anak milik Bagas untuk diri saya sendiri, walaupun perlu juga diiringi seruan yang menarik perhatian agar anak tidak ragu untuk mendekat. Ketika ada hewan besar atau kue yang enak di dalam buku ceritanya, saya langsung mengungkapkannya. Lama-kelamaan Bagas makin tertarik untuk melihat isi halaman demi halaman bukunya, tetapi menolak untuk dibacakan. Ya, pada awalnya dia memang hanya suka membolak-balik bukunya untuk melihat gambar besar berwarna-warni. Tidak masalah, kita hanya perlu terus mencoba. Lagi pula, koleksi buku Bagas pada saat itu memang banyak yang berupa gambar ketimbang isi ceritanya. Perlahan, saya tingkatkan "level" dalam pemilihan buku-buku barunya. Semakin banyak isi cerita, tetapi tetap dengan gambar yang menarik.

Walau baru beberapa bulan, hal tersebut berjalan sangat baik. Saya kaget dengan perkembangannya karena bisa dibilang Bagas cukup terlambat dalam berbicara. Sekarang ia sudah hampir empat tahun, artikulasi dalam pengucapannya masih belum sempurna. Namun ia jadi sangat suka bertanya, semua hal ia tanyakan tanpa malu-malu. Segala hal yang sudah ia ketahui, akan diucapkannya berulang kali. Saya takjub bagaimana sesuatu yang baru sekali dialami, tetapi bisa tetap diingat pada hari-hari berikutnya bahkan ketika saya dan suami sudah lupa. Ia juga menjadi anak yang berani dan percaya diri. Kebetulan beberapa minggu yang lalu Bagas baru saja masuk preschool, saya tidak menyangka dia akan berani masuk kelas tanpa harus saya temani pada hari pertamanya. Dan yang paling penting, ia hampir tidak pernah tantrum.

Apakah semua ini lantaran hanya karena kebiasaan saya bacakan buku? Tentu tidak, hal yang jauh lebih sulit saya alami sebelum memperkenalkan Bagas kepada buku adalah melepaskan kebiasaannya bermain gadget. Sama seperti anak-anak pada umumnya, Bagas  suka menonton Youtube lewat tablet pribadi miliknya, setiap hari selama beberapa jam. Tidak ada batas waktu, kapan pun saya dan suami butuh ketenangan, maka kami akan menjejali Bagas dengan gadget. Walau biasanya hanya menonton video saja, Bagas tidak bisa bermain game dan sebagainya. Tetap saja saya khawatir dan tidak yakin kalau Bagas bisa lepas dari gadget.

Sampai pada satu hari, tablet Bagas terjatuh menghantam lantai, sehingga retak dan mati total. Sejak saat itu saya dan suami bergantian meminjamkan smartphone kami kepada Bagas agar ia bisa melanjutkan kesenangannya menonton Youtube. Lama-lama kami merasa terganggu karena selalu terjadi drama ketika kami memerlukannya. Seringnya saya berdua dengan Bagas di rumah, maka smartphone saya pula yang sering menjadi korban. Suami sempat menawarkan untuk membelikan Bagas tablet baru, tetapi dengan tegas saya tolak. Saya berpendapat, dengan membiarkan hanya ada satu gadget di rumah, yaitu smartphone milik saya, akan memperkecil peluang untuk kami saling mengacuhkan. Ketika baterai habis dan tidak bisa digunakan, mau tidak mau kami berdua akan membaur karena tidak ada lagi gadget yang bisa diharapkan. Maka cara saya selanjutnya adalah membiarkan baterai ponsel saya habis atau bahkan saya sengaja mematikannya agar Bagas percaya dan melihatnya sendiri.  

Tidak disangka, weekend itu menjadi awal baru untuk Bagas mulai melupakan gadget. Berdua dengan papanya, Bagas diajak bermain di luar tanpa diberi tontonan lewat smartphone dan berhasil. Namun saya berkecil hati, Bagas kan bisa melupakan gadget karena sibuk menghabiskan waktu bersama suami saya. Lalu ketika suami saya kembali bekerja di hari-hari biasanya, bagaimana saya bisa melakukan hal serupa. Saat itu saya tahu pilihannya hanya dua, menyerah tanpa mencoba atau meneruskan usaha positif suami saya. Sayang sekali jika sudah dua hari ini Bagas terbebas dari radiasi layar gadget dan menggantinya dengan aktivitas fisik yang membuatnya berkeringat dan nafsu makannya bertambah, lalu saya meracuninya kembali hanya karena saya tidak mau sungguh-sungguh berusaha. 

Minggu demi minggu berlalu. Kesulitan demi kesulitan saya hadapi ketika Bagas seratus persen lepas dari Youtube. Acara memasak atau membersihkan rumah yang tadinya lancar ketika Bagas nyaman di atas sofa sambil memangku gadgetnya, kini menjadi berantakan karena saya pontang-panting memenuhi keinginannya untuk menemani bermain atau minta diambilkan ini dan itu. Ketika lelah selepas memasak atau mencuci, rasa kantuk melanda dan saya ingin memejamkan mata sebentar saja, Bagas pun menghalau dan membangunkan saya. Tidak jarang saya menunda pekerjaan rumah hanya demi mendampingi Bagas menonton TV atau membacakan cerita. Ke mana pun saya pergi bolak-balik mengambil sesuatu, Bagas selalu ada di belakang saya. Semuanya jadi serba merepotkan, hal itu terjadi karena Bagas tidak lagi ‘’diasuh’’ oleh gadget. Kesal rasanya, tetapi saya hanya bersabar dan melanjutkan usaha saya.

Beberapa kali rasanya ingin menyerah dan menyodorkan kembali gadget kepada Bagas. Sulit rasanya karena tidak ada bantuan asisten rumah tangga ataupun pengasuh. Ditambah lagi padatnya jam kerja suami yang mungkin sangat berbeda dengan papa lainnya dan hampir setiap minggunya dinas keluar kota membuat saya merasa bertarung seorang diri. Saya bisa kalah kapan pun, tetapi bukan dengan anak laki-laki yang bahkan usianya belum genap empat tahun, melainkan dengan diri saya sendiri.

Sekarang Bagas sudah tidak lagi memegang gadget untuk menonton Youtube. Buku bacaan bergambar atau ensiklopedia hewan menjadi favoritnya. Kalau pun dihadapkan dengan gadget sudah pasti dengan pendampingan saya atau suami. Hanya untuk iseng melakukan selfie ataupun seru-seruan membuat video. Ketika saya atau suami ada perlu dengan gadget kami, Bagas pun sudah tidak lagi terpengaruh.Tidak lupa kami juga meminta bantuan berupa dukungan dari keluarga lainnya. Saat bermain ke rumah neneknya, Bagas pun tidak lagi diberi kesempatan memegang gadget om atau tantenya.

Semoga pengalaman kami bermanfaat untuk urban mama ataupun papa yang ingin mengurangi aktivitas bermain gadget kepada buah hati tercinta. Hal yang saya alami tentu berbeda penanganannya dengan anak lainnya. Bisa lebih mudah ataupun sulit. Semuanya tentang yang kita pikirkan, anak kita pun akan demikian. Jangan menyerah dan terus mencoba.

5 Komentar
Retno Aini
Retno Aini November 20, 2017 6:07 pm

setuju, menyapih gadget itu bergantung bgt pada konsistensi orangtua memberikan kegiatan lain utk mengalihkan perhatian anak dari gadget. Terima kasih utk sharingnya yaa mba Dwi :D

Agustina Sulistyorini
Agustina Sulistyorini November 15, 2017 9:16 pm

Hai mom.. senang deh lihat anak gemar membaca. Bagas mulai usia berapa disapih gadgetnya? Trus buku apa yg jadi favorit Bagas? Apa yg gambar2 animasi atau gambar2 real gitu mom?

Dwi Septiani November 15, 2017 9:32 pm

Halo mbak Agustina, Bagas disapih gadget kira-kira 3,5 tahun..jadi kurang lebih lima bulan ini dia gak pegang gadget. Dia lagi suka binatang dan tata surya, buku yang dia lagi suka banget itu seri hewannya Ensiklopedia anak hebat terbitan BIP gramedia. Disitu gambarnya animasi dan real, penjelasannya juga gak kepanjangan jadinya menarik :)

Cindy Vania
Cindy Vania November 14, 2017 7:29 am

Waa selamat mama Dwi dan Bagas !
Betul banget, menyapih anak dari gadget itu yang harus kuat orang tuanya, soalnya perjuangannya adalah semua aktivitas rumah dan waktu istirahat siang jadi terganggu. Salut sama mama Dwi, hebat!

Dulu saya juga merasakan hal yang sama tapi di kali 3 anak. Enaknya, karena mereka bisa main dan baca bareng, jadi mamanya bisa ngabur beberes :D heheh..


Sekarang kalau pergi aku pasti bawa buku, alat mewarnai komplit, dan lego. Biar anteng semua di perjalanan dan di lokasi :)

Terima kasih sharingnya ya mama.

Dwi Septiani November 14, 2017 6:36 pm

Sama-sama mbak Cindy, wah hebatnya..aku satu aja udah capek gak kebayang kalo 3, hehe.