Saya masih ingat ucapan Ibu ketika akan melahirkan anak pertama di tahun 2010 lalu. Saat itu saya sibuk sekali mempersiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan si kecil. Terus terang sebagai calon ibu baru saya takut salah. Takut kalau apa yang saya lakukan dianggap salah oleh orang sekitar dan mengundang komentar miring yang bikin panas kuping. Saya sibuk mengumpulkan informasi dari dunia maya, bahkan rajin jadi anggota milis ini dan itu, demi mengantisipasi kesalahan ibu baru. Ibu saya yang besar dengan pola pengasuhan zaman dulu hanya berkomentar "Semua yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya itu tidak pernah salah, mereka pasti mau yang terbaik, jangan takut dinilai jelek sama orang lain. Mereka kan tidak tahu kebiasaan anak kita, kondisinya bagaimana. Yang bagus buat anak orang lain belum tentu bagus buat anak kita sendiri. Don't judge, Ibu itu ya Ibu".
Tidak lama berselang, si kecil lahir melalui operasi sesar dan bukan normal birth, water birth atau hypnobirth. Walaupun sungguh luar biasa rasanya menjadi seorang Ibu, di dalam hati kecil saya agak sedikit sedih karena melahirkan melalui operasi sesar, dan bukan normal. Rasanya seperti melahirkan bukan dengan usaha sendiri tapi dibantu tenaga medis. Seperti dugaan saya, komentar negatif pun mengalir seiring ucapan selamat, "Kenapa sesar? Kan mahal, kan tidak alami, tidak menjadi perempuan seutuhnya" atau "pasti memilih operasi soalnya malas berusaha, malas capek ya". Padahal sudah berulang kali saya terangkan, operasi sesar dipilih karena kondisi medis.
Kesedihan semakin menjadi ketika saya tidak bisa IMD sebagaimana seharusnya, lalu karena stres saya sempat mengalami baby blues dan ASI tidak mengalir deras. Akhirnya si kecil dibantu dengan susu formula. Ini juga kemudian mengundang komentar yang tidak kalah negatif seperti "Kenapa tidak ASI, malas ya?". Aduh, kalau saja memang saya bisa memberikan ASI secara eksklusif tentu akan saya berikan, tapi setelah usaha ini itu, ASI tidak keluar sebanyak yang saya inginkan padahal saya sudah berusaha. Ada banyak saran yang saya dapat, mulai dari yang masuk akal sampai luar biasa aneh. Beberapa saran tentu saya jalani seperti banyak mengonsumsi makanan bergizi atau susu, tapi ya tetap tidak berhasil. Si kecil tetap dibantu dengan susu formula, saya merasa gagal menjalin ikatan Ibu-Anak dengan si kecil. Walaupun belakangan saya sadar, bahwa ikatan Ibu-Anak terjalin secara alami dan tidak menjadi makin kuat lantaran si anak hanya minum ASI ketika bayi atau menghilang karena si anak minum susu sapi.
image credit: www.gettyimages.com
Setelah si kecil terlambat tumbuh gigi, komentar kembali bermunculan, "Kok umur segini belum tumbuh sih giginya, anak saya umur segini dulu udah sepasang lho giginya, makanya rajin makan ini itu" atau "Kamu pasti pas hamil jarang minum susu ya, kurang kalsium nih anaknya". Dan komentar lain pun selalu hadir menemani pertumbuhan si kecil, mulai dari saat ia belajar tengkurap, merangkak, hingga berjalan. Saat si kecil mulai belajar makan ada kalanya saya tidak sempat membuat sendiri MPASI, sehingga meracik bubur instan, tidak jarang banyak yang meremehkan si bubur instan itu "Aduh, jangan dikasih bubur instan, ada pengawetnya" atau "Memang tidak bisa masak sendiri, sekarang resep MPASI kan gampang". Padahal saya sendiri terpaksa sekali berurusan sama si bubur instan itu.
Kemudian saat akan kembali akan berkerja setelah cuti selama 3 bulan, banyak yang protes dan berujar bahwa kodrat wanita itu kan mengurus anak dan suami. "Nanti kalau kerja, anaknya tidak terurus, lho" atau "Masa jadi anak pembantu sih". Sempat terpikir untuk resign saja dan fokus mengurus anak dan suami sesuai yang dikatakan sebagai kodrat wanita tadi, tapi Ibu saya mendukung agar saya tetap bekerja, karena beliau masih kuat menjaga cucunya.
Pernah suatu hari si kecil sakit dan dokter anak memberikan obat. Teman saya yang "lebih ahli" mengkritik dokter anak tadi dan bilang "Aduh kok dokternya tidak RUM sih". Saya cuma tersenyum saja. Komentar bernada menghakimi lain mulai terasa familier mulai dari "Kenapa sih anaknya tidak pakai kaos kaki, kan nanti masuk angin", "Kok rambutnya tidak dibotak sih? Itu kan rambut kotor" atau pada saat saya memilih disposable diapers dan bukan cloth diapers, saya dituduh boros dan tidak ramah lingkungan, and it goes and will never stop. Mungkin para ibu yang hobi komentar tadi tidak sadar kalau mereka sedang menghakimi orang lain, ada yang memang niatnya cuma membagi pengalaman. Awalnya saya sempat galau dengan "judgement" orang-orang, namun akhirnya saya cuek. Toh saya yang menjalani, and we are not in the same shoes.
Lalu saya melahirkan anak kedua (tetap secara sesar karena kondisi medis), berhasil mendapatkan IMD selama dua jam, memberikan ASIX selama 6 bulan, dan saat ini si kecil sudah berusia 7 bulan walaupun masih belum bisa duduk sendiri, but I'm proud. Apa pun pandangan orang terhadap cara saya mengasuh, saya tidak ambil pusing. Saya teringat ucapan Ibu bahwa, tidak sepatutnya kita mengkritik, menghakimi pola pengasuhan orang lain, dan tidak pada tempatnya pula jika kita mengajarkan pola pengasuhan yang kita terapkan pada buah hati kepada Ibu lain. Karena orang yang tahu apa yang diperlukan oleh si kecil tidak lain adalah Ibunya sendiri.
-quote dari film "What to expect when you're expecting"..."DON'T JUDGE"
Mba keren banget tulisannya. I feel youuuuuuu! Aku juga sesar dan sejak hari ke 5 kelahiran anak aku terpaksa pake sufor karna asi ku ga cukup. Bahkan sampai dia 3 bulan aku masih harus pakai sufor karna asi tetap sedikit. Banyak yg komentar negatif. Ada juga yg bilang anakku anak sapi. Sedih? Iya. Tapi berusaha tegar. Mereka cuma gatau seberapa keras usaha kita untuk kasih yg terbaik buat anak kita. Semangat!
jadi ibu harus pinter2 filter kuping dan tersenyum...
semangat mommies...we know what best for our kids...
I feel u... Sedihnya tiap kali dgr, belum sah jd ibu krn ga ngerasa lahiran normal (siapa blg lahiran cesar ga sakit..sama jg sakit pas udahannya kan)
Skrg tiap kali ada yg kritik, ksh saran2 yg ga make sense or judging, cukup kasih senyum manis n say : thank u for ur attention or i'll think about it..
Group hug bu ibu
Semangat ya moms,semoga semakin banyak para ibu yg bercita cita mulia seperti bunda gita dan bunda lainnya,lahiran normal,asix,no diapers,mpasi homemade,bisa jd full time mum. Yang bikin sedih adalah pemikiran menganggap bahwa -cesar,sufor,anak diasuh pembantu,pake diapers terus,bunda sibuk karier- sebagai sesuatu yang modren,bergengsi dan membanggakan.
Semoga semakin byk yg bisa mewujudkan cita2 tersebut. Saya alhamd bisa lahiran normal,asix,no diapers n be a full time mom..sama seperti mba NIRMALA KAUTSAR salam peluk hangat untuk semua ibu yg telah berusaha keras memperjuangkan yang terbaik untuk anak2nya.
Aah saya ngerasain banget ini hampir semuanya mbak. Dan saya yakin masi buanyaaaakkkk orang yg ngerasain apa yg kita rasain ini. Menjadi seorang ibu itu memang susah, karena apapun yg kita lakukan akan tetap terasa salah. Padahal sebenernya tidak ada yg salah dari setiap keputusan, hanya saja konsekuensinya beda2. Saya merasakan jadi IRT dari hamil sampai anak saya 15bulan. Dan dihakimi itu sudah biasa. "Kok ibunya dirumah tp anaknya kurus sih? Kok anaknya nempel banget sih sama ibunya, cengeng?"ni kok bs sakit sih anaknya, td dikasi makan apa sm ibunya?" And so on. Saat saya memutuskan kembali bekerja juga ngga kalah heboh reaksi sekitar. "Ya ampun ga kasian sm anak, emang anaknya uda bs dipegang org lain, sini deh anaknya titipin aja disini kasian sendiri kayak anak ilang, aduh kodrat perempuan itu dirumah aja" and so on and so on. Andalan saya biasanya bales omongan mereka sambil ketawa "mau nggaji saya sebesar gaji saya kantoran tiap bulan nggak? Kalo enggak mau, yaudah. Jangan banyak komen". Hehehe.