My Adoption Story

Oleh Myreshka pada Selasa, 23 November 2010
Seputar Our Stories

Usia pernikahan kami telah mencapai 4 tahun, dengan 2 tahun terakhir kami habiskan untuk menjalani berbagai terapi/program untuk kehamilan tanpa hasil! Saat itu, kali pertama kami mempertimbangkan adopsi. Tempat pertama yang kami datangi adalah Yayasan Sayap Ibu di kawasan Barito, Jakarta-Selatan (Desember, 2007). Pengurus di Yayasan Sayap Ibu menjelaskan beberapa syarat yang membuat kami “eligible” untuk mengadopsi anak.


Dua syarat yang terpenting adalah:



  1. Batasan umur maksimal dari calon orangtua (50 tahun).

  2. Lamanya usia pernikahan (setidaknya telah 5 tahun menikah atau ada vonis “tidak bisa menghasilkan keturunan dari dokter”).


Selain syarat-syarat yang telah dijelaskan, pengurus juga menjelaskan bahwa daftar tunggu untuk adopsi anak di Yayasan itu cukup panjang. So it will take us some time before finally we can adopt the baby :(. Tanpa disangka-sangka, pengurus tersebut menambahkan informasi lain, bahwa saat itu ada satu anak perempuan, berumur 14 bulan yang seagama dengan kami (oh ya salah satu peraturan Yayasan Sayap Ibu adalah anak yang diadopsi harus seagama dengan calon orangtua). “Namun pendengarannya kurang baik, yang sebelah kiri tidak dapat mendengar, walaupun yang kanan normal,” jelas si pengurus waktu itu. “Kalau nanti bapak dan ibu tertarik, boleh melihat si anak tersebut,” tambahnya lagi.


Kami pun pulang dengan berbagai pemikiran di benak kami masing-masing, sesungguhnya yang kami inginkan adalah mengadopsi bayi yang berumur dibawah 1 tahun (atau kalau bisa sih, yang baru lahir). Itu pertimbangan pertama, yang kedua faktor bahwa ada gangguan di pendengaran anak itu membuat kami jadi berpikir,” Kok susah bener ya?” Namun entah kenapa, kok rasanya tetap kepikiran dengan si anak perempuan yang belum pernah kami lihat itu ya? Singkat cerita, saya memutuskan untuk melihat si anak perempuan itu, bersama-sama dengan adik dan sahabat (suami saat itu sedang berada di Bandarlampung).


Di Yayasan Sayap Ibu, sambil menunggu pengurus panti, kami melihat bayi-bayi dari luar kamar bayi. Ada satu anak perempuan  yang sangat menarik perhatian kami, “Lucu banget ya anak yang itu?” komentar saya (atau kami ya?). Guess what? Ternyata itu adalah anak perempuan yang sama, yang akan diperkenalkan kepada kami :). Tambahan lagi, mungkin sudah jalan Tuhan juga, wajah anak itu sangat mirip dengan mertua perempuan saya. I’m completely hooked!


Anak perempuan ini, walaupun sudah berumur 14 bulan, namun belum bisa jalan dan belum bisa bicara pula, plus gigi-nya baru tumbuh 2 saat itu (dan gangguan pendengaran yang sudah diinformasikan ke kami sebelumnya). Saya meminta ijin untuk memeriksakan kondisi kesehatan anak perempuan itu, sebelum mengambil keputusan akhir. Dokter anak yang kami pilih, yang pada awalnya agak enggan karena sudah 3 kali suami-istri membatalkan niat adopsi setelah melihat hasil akhir pemeriksaan, menjelaskan bahwa otak si anak belum berkembang penuh dan ada lemak di serabut otaknya yang menimbulkan keterlambatan pada perkembangannya, namun dokter anak tersebut juga menambahkan bahwa keterlambatan tersebut masih dapat dikejar.



“Kalau memang ibu dan bapak mau, secepatnya anak ini dibawa ke rumah, diberikan perhatian dan stimulasi yang tepat sebelum umur 2 tahun.”



Semua fakta ini kami pertimbangkan dan diskusikan terutama dengan ibu saya (karena saya dan suami bekerja, maka nantinya anak ini akan berada di bawah pengasuhan ibu saya) dan akhirnya kami sampai pada satu keputusan akhir, kami akan mengambil anak perempuan itu! Pada tanggal 28 Januari 2008, dengan berbekalkan surat keterangan dokter, kami mengajukan niat kami pada pengurus panti, yang syukurnya ditanggapi positif oleh panti, dan kami pun membawa pulang Ophelia Pareshia dengan perjanjian perawatan sementara (nama yang kami berikan kepada si anak perempuan itu). Kami memanggilnya Reshia.


first

 


And so the story begins.


Sama seperti ibu yang membawa pulang bayi dari rumah sakit setelah melahirkan, perjuangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Bedanya, si bayi yang saya bawa ini, sudah berumur 15 bulan, dan punya kebiasaan dan kesukaan yang sifatnya masih misteri bagi saya. Secara umum, perilaku Reshia “lebih dewasa” dan cenderung unik dibanding anak-anak seumurnya (yang kami yakini sangat dipengaruhi oleh 15 bulan perawatan di Panti). Beberapa perilaku Reshia yang saya bicarakan, diantaranya:



  1. Yang menyenangkan, Reshia nggak bisa tidur kalau ada orang lain di kamar. Sehingga, setelah bersih-bersih, berdoa, dan baca cerita, kami akan meninggalkan Reshia untuk tidur di kamarnya. Kami beruntung juga karena Reshia nggak suka berdiri dan memanjat tempat tidurnya, jadi berasa aman deh :)

  2. Yang kurang menyenangkan, ternyata Reshia nggak suka dipeluk dan dicium. Sehingga pada awal-awal kebersamaan Reshia, dia malah panik kalau tiba-tiba dipeluk. Mungkin karena di Panti, Reshia tidak pernah mengalami perlakuan seperti itu. Untung kebiasaan itu sekarang sudah hilang, thanks to Barney movie dan lagu “I Love U”nya, Reshia mulai mau dipeluk dan dicium sejak nonton Barney :).

  3. Reshia jarang menangis, untuk memanggil ataupun kalau dia merasa terganggu. Mainan jatuh, direbut ataupun poop sekalipun, Reshia ngga nangis! Namun setelah 1 bulan berada di rumah kami, kebiasaan itu segera hilang, she knows when she cries, everybody comes! So she cries to attract attention.. :)

  4. Reshia nggak suka dengan hal baru (apapun itu: makanan, mainan, kegiatan) dan orang banyak. Masih membekas di ingatan, pada awalnya Reshia harus selalu digendong saat berada di acara keluarga atau manakala menghadiri acara ulang tahun anak-anak teman.


Selain perilaku-perilaku unik Reshia di atas, kami juga mengalami kesulitan saat pertama kali menyesuaikan kebiasaan makan dan mandi Reshia. Bayangkan, pada awalnya setiap makan kami harus berjuang memasukkan sendok ke mulutnya selama 15 menit, tanpa hasil, kecuali tangisan keras Reshia (untung udah lapor RT, kalau nggak bisa-bisa dikira Child Abusement deh!). Sudah itu, Reshia hanya mau menelan bubur susu instan, sisanya ditolak! Ibu saya yang akhirnya menemukan solusi (bless her! She’s been a God send), dia mengambil kain jarik dan menggendong Reshia ke halaman rumah, dalam 10 menit suapan pertama berhasil masuk dilanjutkan dengan suapan-suapan berikutnya. Yay! Mengenai jenis makanan, kami membiarkan Reshia makan bubur instan kesukaannya untuk sarapan, namun tetap mengajarkan Reshia makan makanan rumahan di makan siang dan malam (tentunya tetap dengan gaya makan digendong pakai kain jarik). Untung setelah 2 minggu, Reshia mulai terbiasa dengan kebiasaan makan yang kami terapkan, dan mau duduk di kursi makannya. Bahkan, setelah Reshia mencapai usia 2 tahun, berat badannya mencapai 17 kilo (9 bulan sebelumnya, beratnya hanya 8 kg) sampai-sampai dokter anaknya menganjurkan untuk mengurangi susu karena pertambahan berat badan yang terlalu cepat.


Cerita mandi, lain lagi. Berbekal informasi tentang kebiasaan mandi Reshia selama di Panti, yang adalah: Pakai air hangat dan diguyur pakai gayung, kami pun mencoba menerapkan hal yang sama. Ternyata, Reshia malah nangis sepanjang mandi! Kami ganti dengan shower, tetap menangis. Sampai kami mendatangkan adik saya (ibu dari 2 anak), dengan pemikiran mungkin ibu saya sudah “lupa” cara memandikan anak, sama aja! Tetap menangis! Ternyata jawaban dari misteri itu terjawab, saat water heater di rumah mati, dan Reshia sudah terlanjur dibuka bajunya, sehingga mau tidak mau Reshia dimandikan dengan air dingin. Hasilnya, Reshia tertawa lebar sepanjang mandi. Ya ampun, ternyata “air hangat” yang dimaksud itu lebih ke arah dingin. Sampai selama 6 bulan, Reshia masih mandi air dingin dan setelah itu mulai mau mandi dengan air hangat.


Tantangan yang paling besar bagi saya selanjutnya, tentunya adalah mengejar ketinggalannya agar sesuai dengan usia (di usianya yang sudah setahun lebih saat kami membawa Reshia, Reshia masih belum bisa jalan dan bicara). Cara Reshia bergerak adalah dengan cara ngesot. Reshia langsung berhasil merangkak, setelah tante saya mencontohkan ke Reshia cara merangkak kesana kemari selama 5 menit, yay!  Untuk mengajarkan berjalan, kami mendatangkan terapis ke rumah, sesuai dengan anjuran dokter. Dalam 4 minggu, Reshia sudah menunjukkan kemajuan yang mengagumkan, walaupun tentunya diiringi tangis (yang seperti disiksa) setiap kali terapi. Reshia mulai bisa berjalan sendiri di usianya yang ke 18 bulan. Lambat untuk kebanyakan orang, tapi meminjam istilah dokternya, “Nanti kalau sudah besar, tidak akan ditanya kok bu sama orang, mulai jalannya dulu umur berapa… yang penting dia bisa jalan.” Yang juga tidak kalah penting dalam perkembangan Reshia adalah kemampuan bicara. Kondisi telinga kiri-nya yang tidak dapat mendengar, mengharuskan Reshia menggunakan alat bantu dengar dan terapi wicara sebanyak 3 kali seminggu. Saat ini kemampuan Reshia sudah seperti anak 36 bulan, thanks to the therapist dan juga 2 keponakan saya yang sangat “talk-active”. Terapi bicara masih tetap dijalankan dengan frekuensi 2 kali seminggu dan masih ada PR untuk mengejar ketinggalan motorik halusnya (yang masih seukuran anak berumur 24 bulan).


Setelah Reshia tinggal bersama dengan kami selama 6 bulan, ibu saya menyarankan pentingnya Reshia punya teman di rumah. Kami pun kembali mempertimbangkan adopsi 1 anak lagi. Namun ternyata Tuhan berencana lain, tanpa diduga-duga saya hamil walaupun tidak menjalani terapi dari dokter. Dalam kebahagiaan kami, sempat juga sih terganggu dengan ucapan selamat yang diikuti dengan kata-kata, "Pancingannya sukses ya!" Memangnya ikan apa dipancing? Hu-uh. Sedikit banyak, saya malah merasa bersalah karena baru saja Reshia merasakan perhatian penuh... ehh, tiba-tiba harus berbagi dengan calon adikknya. Dasar anak penurut, Reshia mengerti dan bahkan puas dengan hanya dipangku karena dokter melarang saya menggendong Reshia (takut mengganggu kehamilan).


Setelah adiknya lahir, Reshia mulai menunjukkan rasa cemburunya. But the good thing is, seiring dengan bertambah besar adiknya, Reshia mulai berani melakukan hal-hal baru, asal adiknya yang mulai lebih dulu. Contohnya berenang, Reshia biasanya ketakutan sekali kalau diajak berenang, tetapi sesudah melihat adiknya tertawa masuk ke dalam kolam, Reshia pun ikut-ikutan minta masuk. Oh ya, saat saya memberikan ASI untuk adiknya, saya pun memasukkan ASIP kedalam botol susu formula Reshia atas usul ipar saya. Apa gunanya? Nggak tahu juga sih, mungkin hanya simbol kepuasan untuk saya, bahwa kedua anak saya “pernah” merasakan ASI saya :p.


Saat ini saya sedikit bernafas lega atas semua kemajuan yang dialami Reshia dalam mengejar ketinggalannya, walaupun proses itu masih tetap menjadi tantangan hingga saat ini. Saya beruntung karena dalam proses yang berkelanjutan ini, seluruh anggota keluarga sangat mendukung saya, terutama atas support ibu dan adik saya yang sangat membantu dalam membesarkan Reshia. Reshia pun sangat "attached" pada oma, opa, opung, oom dan auntie-nya.


Dan akhirnya setelah 2 tahun menunggu, semua proses administrasi Reshia pun selesai dan bulan Februari tahun 2010, Reshia resmi menjadi anak angkat kami lewat sidang di pengadilan negeri Jakarta Selatan.  Suatu waktu nanti jika waktunya tepat, kami tetap berniat memberitahu Reshia, perihal adopsinya, karena keluarga kami adalah keluarga besar, dibanding dia harus mendengar hal tersebut dari orang lain. Hal ini masih menjadi PR kami nih, termasuk juga berkonsultasi ke psikolog, cara dan waktu yang paling tepat untuk memberitahu Reshia.


Tanggal 28 Oktober kemarin, Reshia berulang tahun yang ke 4. Untuk kali pertama, Reshia minta tiup lilin (selama ini dia takut pesta ulang tahun) dan minta kue ulang tahun berbentuk bulan untuk ditiup di sekolah.  


Happy birthday, sweet little Reshia... the fact that you are adopted will stay there, along with the fact that I love you as much as I love your little brother..


 

97 Komentar
Myreshka May 18, 2013 9:24 am

Hai bunda nouf... Saya udah baca ceritanya... Reshia udah mo masuk sd juli ini... Semoga mereka sehat2 ya bunda...
@affriani... Kirim email ke saya di [email protected] ya... Waktu itu sempet aku inbox no terapisnya, ga tau keterima apa ga.. Maap jarang2 buka urban mamanya... Dikantor di blok.. Eheheh
@mamawira... How's the baby now? Semoga udah ga baby blues yaaaa

bunda nouf
bunda nouf May 9, 2013 9:51 am

Mama Myreshka... semoga kedua buah hatinya sehat-sehat selalu. Aku juga mengadops baby. Tapi dari panti asuhan balita tunas bangsa Cipayung. Sekarang anakku sudah hampir 5 tahun insya allah bulan depan. Story about my adoption: http://theurbanmama.com/articles/saya-memilih-adopsi.html mampir juga ke bundanouf.blogspot.com :)

mamawira December 17, 2012 9:52 am

mama myreshka *moga2 ga bosen dengernya* sumpah jadi terharu, tangis rasanya tercekat di tenggorokan... saya jg baru adopsi baby boy, skr usianya baru 2 hari, tp rasanya jd kaya baby blues deh, jadi gampang mewek ke seuami *padahal yg ngebet adopsi tuh aku* tp alhamdulillah suami terus kuatkan aku...

tapi baca kisah ini benar2 membuka mata dan hatiku, that i'm not alone, that adopt is being such a usual thing... aku khusus bookmark halaman ini buat dibaca2 lagi klo lagi down... semangat mama myreshka dan keluarga besarnya, kalian sungguh2 berhati mulia... moga2 Reisha bisa mengejar ketertinggalannya...

Kharisma Affriani
Kharisma Affriani December 5, 2012 11:47 am

mommy...therapis nya dimana boleh tahu?

witia
witia June 23, 2011 5:22 pm

terharu bgt bacanya..

semoga makin menjadi keluarga yang harmonis ever after Mommy Myreshka