Sebelum Rey lahir, saya dan suami sepakat untuk membesarkan anak bersama-sama. Bukan hanya sekedar tinggal bersama, dengan pembagian tugas ayah mencari nafkah dan ibu yang mengurus anak. Karena kami percaya parenting itu dilakukan berdua, bukan hanya tugas ibu saja.
Kehamilan tentu saja adalah kabar gembira bagi keluarga. Begitu pula saat mengetahui saya tengah mengandung anak kedua. Namun, tersisip juga kekhawatiran, bagaimana saya harus menjelaskan mengenai kehamilan ini dan memberitahukan kepada Kaitlynn yang saat itu baru berusia 1,5 tahun bahwa dia akan segera menjadi seorang kakak.
Rasa gundah itu sirna ketika saya memilih buku untuk berinteraksi dengan anak. Bukan mainan, apalagi gadget. Saya dan suami sepakat untuk tidak mengenalkan media elektronik pada anak di usianya yang masih kecil. Bagaimana mengenalkan buku untuk si kecil?
Salah satu manfaat psikologis dari menyusui adalah meningkatkan bonding atau kedekatan antara ibu dan anak. Dulu saya tidak terlalu memperhatikan hal ini, tetapi ternyata ada benarnya juga bahwa anak yang disusui secara langsung oleh ibunya akan memiliki keterikatan emosi yang lebih kuat.
Walaupun saya sendiri suka membaca, dulu saya tidak pernah banyak mencari tahu tentang membaca untuk anak. Ketika hamil, jujur saja yang saya cari tahu hanya hal yang berhubungan dengan persiapan mental seperti cara menghadapi baby blues, ASI lancar, bepergian membawa bayi serta persiapan-persiapan seperti pakaian, kereta bayi, mainan, dll.
I often feel like Sherk when it comes to parenting. You know, a bit clumsy, lost in the woods, going through a swamp, and feeling like screaming "DONKEYYYYY" from time to time.
Kalimat-kalimat yang nyinyir terlontar begitu saja saat kedua anak saya tidak cepat merespons perintah saya. Misalnya saat dipanggil untuk makan atau mandi, tetapi ia malah sibuk bermain, diminta memakai baju malah menonton televisi, disuruh merapikan mainan malah membuat tambah berantakan.
Saat mengetahui bahwa anak ternyata kidal, ini adalah pertanda bahwa orangtua harus lebih kreatif dalam mendidik dan mendukungnya. Sekali lagi, anaknya tidak minta menjadi kidal kok. Setiap orang dilahirkan unik.
Saya pernah berkeinginan menyekolahkan Hasna sejak usia satu tahun. Keinginan itu muncul saat melihat anak lain seusia Hasna sudah bisa bicara dengan jelas dan banyak kosakata yang diucapkan, akibatnya saya merasa tertekan.
Sebagai ibu dari dua anak perempuan, saya sering mendapatkan pertanyaan seperti judul di atas. Biasanya ditambah dengan kalimat “Sayang nih, belum ada anak laki-laki”, atau “Biar pas ada anak perempuan dan laki-laki”.