Saya menikah seminggu setelah wisuda, hampir 8 tahun yang lalu. Di kepala saya sudah ada urutan rencana: menikah-melanjutkan kuliah profesi/magister-lulus-hamil-kerja. By the time saya 30 tahun, anak saya mungkin sudah masuk TK, dan mungkin bisa punya anak yang kedua. What a great plan!
Namun rencana tinggal rencana, a divine intervention stepped in. Saya tetap melanjutkan kuliah magister. Dua tahun berlalu, belum ada tanda-tanda saya hamil. Waktu itu saya dan suami masih santai, masih berpikir, "Oh, mungkin harus menabung dan masih harus selesai kuliah dulu" . We moved on. Saya akhirnya bekerja dan memperpanjang waktu 'pacaran' dengan suami.
Tahun ketiga, belum hamil juga. Mulai jengah hadir di acara keluarga, pertanyaan "Belum hamil, Mbak?" menjadi pertanyaan yang membuat malas hadir di pernikahan, arisan, reuni. Kunjungan ke sejumlah dokter sudah mulai jadi agenda rutin tiap weekend. Dokter di Lampung, di Bandung, di Jakarta, dari yang antreannya hanya 1-2 orang sampai yang harus diperiksa tengah malam sudah pernah dialami. Pengobatan alternatif? Pastinya! Mulai dari pijat perut, refleksi, jamu-jamuan, ramuan herbal, sinse, akupuntur. Selalu ada teman atau kerabat yang baik dan memberi rekomendasi, kita usahakan untuk datangi.
Tahun keempat, ketakutan dan kecemasan mulai membayangi. Ada pertanyaan yang mulai hadir, "Bagaimana kalau kami adalah pasangan yang memang tidak diberi rejeki anak?" Namun pertanyaan ini belum siap dijawab oleh saya, maupun suami. Di lubuk hati yang paling dalam, kami masih yakin kami akan diberi anugrah keturunan. Akan ada waktunya untuk kami.
Tahun kelima, kami berdua memutuskan untuk off dari sejumlah terapi dan pengobatan. Kami memilih untuk menjalani saja dan menyerahkan pada Tuhan yang lebih tahu kapan kesiapan kami. Walaupun dalam hati, harapan terus ada. Saya tidak lagi menangis kalau hanya ada satu garis merah saat test pack.
Tahun keenam, bulan April 2009. Saya baru sadar kalau terlambat haid 10 hari. Saat mencoba test pack, itu mungkin 3 menit terlama dan paling saya ingat sampai saat ini. Garis merahnya ada 2! Saya hanya bengong memandangi batang putih itu, sampai tangan saya gemetar. Apa ini pasti hamil? saya bertanya pada mama, yang ikut bingung karena belum pernah mencoba test pack.
Siang itu saya langsung ke dokter bersama suami. Saat melihat titik hitam di layar monitor, kami berdua hanya bertatapan dan tersenyum lebar. Semua yang terjadi sulit dicerna. Saya benar-benar hamil! Alhamdulillah.
Sembilan bulan selanjutnya juga seperti mimpi, semua serba baru. Sebelum hamil, saya selalu melamunkan rasanya hamil, mengelus perut yang membuncit, kunjungan ke dokter obgyn, saat-saat belanja keperluan bayi, dan momen-momen kehamilan lainnya seperti yang ada di majalah atau situs kehamilan. Ketika benar-benar melalui saat-saat menakjubkan itu, rasanya seperti tidak nyata. Bahkan ketika sebelum masuk ke ruang operasi, saya masih mencubit tangan sendiri dan bertanya dalam hati, "Apa benar sebentar lagi saya akan bertemu dengan anak kami, darah daging kami?"
November 2009, hari ke-28. Subhanallah, saya akhirnya bertenmu muka dengan Muhammad Danish Amru. Bintang kehidupan kami yang baru. Makhluk kecil yang mengubah kehidupan saya dan suami 180 derajat, yang membuat kami bergegas pulang cepat sehabis kerja, yang membuat kami berhenti nonton dan kelayapan di ngga jelas di mall demi menabung. Ternyata tidak hanya hamil yang terasa surreal, membesarkan anak juga merupakan pengalaman yang surreal. Melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan, mendengar suaranya, tangisannya. Sampai detik ini kadang tidak sadar terbersit pertanyaan, "Begini ya rasanya jadi orang tua?" surreal, but amazing.
Saya dan suami tidak pernah bertanya kenapa setelah 6 tahun, baru dipertemukan dengan Danish. Hanya Tuhan yang maha tahu mengapa kami dianggap siap setelah 6 tahun. Kami yakin itu yang terbaik. Setelah ada Danish, masa-masa sedih penuh cemas dan airmata yang dulu kami lewati rasanya sudah kami lupakan. Namun setelah ada Danish, baru kami rasakan apa yang selama ini kami rindukan. Here goes a saying, we sometimes fail to realize what we have until it's gone, but we never know what we miss until it arrives.
hiks..terharu bacanya mba. Buat aku jadi semakin sabar dan terus berdoa karena sampe saat ini 2.5tahun blum dikasi momongan juga. Thanks for sharing mba..hugs...
Uuh huhuhuhu hiks sediiih.. perjuangan aku blom ada apa2nya di banding mba Rury, happy to read this story #peluuuk
Thank you mba for sharing the story..
Hiks..berkaca2 baca post ini. Allah SWT selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Alhamdulillah, doa n usaha Mbak Rury n suami diberikan hasil termanis ya melalui si ganteng Amru :)
Ada kisah yg hampir mirip nih. Kakak iparku juga mengalami "kosong" lama, 4 tahun, ngejalanin juga sederet usaha kaya dlm cerita Mbak Rury. Plus usia kakak ipar+suaminya yg sudah di atas 35 tahun, ternyata nggak jadi halangan buat Allah memberikan rahmat-Nya. Sekarang kakak ipar sudah jalan 9 minggu dlm kehamilan anak pertamanya (dan belakangan ikut "memancing" aku ikutan "isi" hihihi)
"...we never know what we miss until it arrives." >> setuju bgt sama line yg ini. Satu alasan kuat mengapa kita patut tak henti bersyukur atas segala yg hadir di hidup kita.
Semoga Mbak Rury n kel. selalu bahagia dg segenap hal2 terbaik yg dilimpahkan tanpa henti oleh Allah SWT ya! TFS Mbak Rury! :)
subhanallah... penantian panjang yang berbuah manis, mbak..
sy aja yang baru 8 bulan nikah risih juga ditanyain sprti itu, apalagi dgn org2 terdekat...
semoga kebahagiaannya segera menular ke sy.
makasih dah share ceritanya, ya....
Jadi ingat ada teman yg hampir 8th menikah (sampe skr) belum juga dpt amanah dari Yang Kuasa.. Mudah2an penantian temenku bisa spt Mba Rury yg Indah Pada Waktunya.. dapet buah hati yg dinanti dan, penantian yg panjang terlupakan dgn anak2 soleh/solehah.. TFS..
*kiss..kis.. buat Danish maniez*