Bagaimana Anak Jadi Cinta Membaca di Austria

Oleh Kusumastuti F. pada Senin, 06 April 2020
Seputar Our Stories
Bagaimana Anak Jadi Cinta Membaca di Austria

“Bicaralah dengan janin Anda”. Poster itu terpampang di ruang tunggu ginekolog yang saya datangi ketika hamil anak pertama. Lengkap dengan ilustrasi janin dan ibu yang tersenyum bersama. Saya memang pernah mendengar musik dapat meningkatkan tingkat kecerdasan janin, tapi bicara?

Ketika saya menanyakan hal ini ke ginekolog, ia memberitahu kalau di usia kehamilan 18 minggu, organ pendengaran janin sudah terbentuk. Di usia kehamilan 25 minggu, tidak hanya janin sudah dapat mendengar dan mengenali suara-suara dari luar tubuh ibu, janin juga sudah dapat memberi respons (dengan gerakan anggota tubuh yang dapat dirasakan ibu).

Ia juga menambahkan kalau sebaiknya yang berbicara dengan janin tidak hanya ibu, tapi juga ayah. Mengapa? Karena semakin sering janin mendengar suara orangtua, ikatan emosi semakin erat. Bayi merasakan betapa berkomunikasi dengan orangtua adalah kebutuhan yang menyenangkan. Hal ini nantinya teramat membantu ketika bayi lahir. Karena keinginan berkomunikasi bayi dengan orangtua sudah terpupuk.

Filosofi pendidikan di Austria

Tapi apa hubungan mendengar dengan membaca? Di negara asal Sigmund Freud ini, penduduknya percaya kalau perilaku manusia dewasa bersumber dari kondisi masa kecilnya. Seperti rumah, jika pondasinya kuat, rumah itu akan kokoh berdiri selamanya. Jika masa kecil kuat, anak akan menjadi manusia hebat. Jadi yang dikuatkan adalah pondasi terlebih dahulu, alias kualitas janin, bayi, balita, anak, dan proses perkembangannya.

Janin mendengar, lalu ia memberi respons. Ketika bayi lahir, ia sudah terlatih mendengar bahasa manusia dan ia pun akan berusaha berbicara menirukan bahasa yang ia dengar, sehingga kemampuan berbahasanya kuat. Hal serupa untuk membaca. Jika anak sudah mampu mendengar dan berbicara, ditumbuhkan kecintaannya akan membaca, sebelum si anak diajarkan membaca. Sehingga nantinya, anak membaca karena ia merasa membaca itu suatu kebutuhan dan bukan suatu keharusan.

Bayi  dan Balita

Ketika anak saya lahir, kami pun rajin ke dokter anak, mengikuti keharusan dari pemerintah. Setiap kali yang dicek oleh dokter anak adalah bagaimana bayi merespons komentar-komentarnya. Ia langsung mengetahui kalau saya suka berbicara dengan bayi saya hanya dari respons yang ia lihat.

Ia mengatakan, bayi yang jarang diajak bicara, hanya pasif diberi mainan, biasanya lebih lambat merespons percakapan. Karena sensor mereka melulu digunakan untuk merespons mainan di sekelilingnya. Ia juga menekankan pentingnya berbicara dengan anak dengan kalimat yang baik dan benar, bukan bahasa “bayi” baba bubu lala lili dan lainnya. Karena kalimat-kalimat itulah yang nantinya akan digunakan anak ketika organ berbicaranya berfungsi.

Untuk mendukung kemampuan menyusun kalimat yang baik, orangtua dianjurkan untuk membacakan cerita ke anak, sehingga ia terbiasa mendengar kalimat panjang, paragraf, dan cerita utuh. Usahakan juga untuk menyertakan mimik dan gerakan badan tertentu ketika membacakan cerita ke anak, untuk memudahkan si kecil menghubungkan isi kalimat/cerita dengan bentuk emosi yang ada, walau ia mungkin belum mengerti artinya.

Kindergarten (3–6 tahun)

Di Austria, ibu dan ayah mendapat cuti melahirkan yang dibayar perusahaan selama 30 bulan. Dapat diambil 30 bulan oleh ibu saja, atau ayah saja (biasanya yang mempunyai penghasilan lebih besar tetap bekerja) atau dibagi bersama, misalnya 20 bulan ibu dan 10 bulan ayah. Sehingga ketika anak berumur tiga tahun, anak pun dimasukkan ke Kindergarten.

Berbeda dengan Taman Kanak-Kanak di Indonesia, di Kindergarten anak tidak diajarkan membaca, tapi diajarkan mencintai bacaan. Mendongeng menjadi salah satu hal terpenting (selain bersosialisasi dengan anak lain).

Hasil riset para ahli pedagogi anak di negara ini menunjukkan kalau mendongeng memiliki pengaruh terapeutik pada jiwa (bahkan bagi dewasa). Berbeda dengan televisi, bioskop, youtube dan video di sosial media lainnya, penonton tidak dibanjiri gambar asing dan rangsangan sensorik saat mendengarkan. Dalam narasi lisan, imajinasi menciptakan citra batinnya sendiri membuat anak berhubungan dengan alam bawah sadarnya. Ini adalah proses kreatif dan penyembuhan. Akibatnya pendengar dongeng juga terdorong untuk terus menceritakan kisah yang mereka dengar. Dan pengalaman memiliki sesuatu untuk diceritakan, menjadi narator, memberi rasa percaya diri yang besar pada anak.

Karena itulah, setiap hari, anak yang ingin menceritakan dongeng yang ia tahu dari rumah dapat menceritakan ulang dongeng itu ke seluruh kelas. Tentunya, ini juga menjadi PR bagi orangtua untuk tidak lupa memberi asupan cerita ke anak setiap hari. Tidak masalah apakah ceritanya sudah dikenal dan berulang ratusan kali, atau cerita yang sama sekali baru. Yang penting, anak senang mendengar cerita dan senang menceritakan kembali apa yang ia tahu ke orang lain.

Diadakan juga minggu tanpa mainan. Dalam seminggu semua mainan beristirahat, dan semua anak diminta melakukan aktivitas sesuai cerita favoritnya. Misalnya menggambar tokoh-tokoh atau kejadian dalam cerita yang ia sukai, atau menyanyikan lagu/memasak makanan yang disukai tokoh ceritanya, atau mengulangi kalimat-kalimat yang ia sukai, lengkap dengan mimik dan emosi. Anak pertama saya menyukai kalimat “The monkey mother loves her child… just like you, just like you.” (Eric Carle, die Affenmutter liebt ihr Kind). Sementara anak kedua saya menyukai bagian Haensel dan Gretel memakan rumah nenek sihir. Jika ada beberapa anak menyukai cerita yang sama, mereka dapat membuat sandiwara cerita itu di depan teman-temannya.

Bagaimana dengan orangtua? Selain membacakan buku ke anak (biasanya sebelum tidur) setiap hari, orangtua juga dituntut selalu aktif membantu meluaskan wawasan anak. Karena orangtualah yang memilih, membeli/ meminjam buku dan membacakannya ke anak berulang kali. Semakin luas dan bervariasi tema cerita yang dibacakan, semakin luas pula wawasan anak. Selain itu, biasanya, apa yang anak dengar di Kindergarten akan anak ceritakan ulang ke orangtuanya di rumah, sehingga para orangtua dapat saling tahu cerita apa yang sedang ramai dibicarakan dan turut meng- up to date pengetahuannya akan dunia buku anak.

Pemerintah juga turut aktif. Buku anak di negara ini termasuk murah dan bagi keluarga tidak mampu, pemerintah memberikan fasilitas buku gratis. Sehingga tidak ada alasan, anak tidak mengenal cerita sama sekali.

Volkschule (6–10 tahun)

Di kelas satu anak mulai diajari membaca. Dengan cepat anak-anak mampu membaca dengan riang gembira dan penuh semangat. Karena mereka tahu, jika mereka bisa membaca, mereka dapat membaca buku-buku pilihan mereka sendiri sepuasnya dan tidak tergantung lagi pada orang dewasa. Terbukti, dampak proses menanamkan cinta anak akan cerita/dongeng/buku/bahan bacaan yang dilakukan selama ini, terlihat jelas di tahap ini.

Setiap sekolah pasti mempunyai perpustakaan yang lengkap dan anak diminta membaca satu buku per minggu. Sebulan sekali anak-anak bersama guru memilih “Book of the month”. Buku tersebut lalu dibahas bersama, dibuat posternya, menceritakan siapa saja tokohnya, apa yang terjadi dan apa yang membuat buku itu menarik bagi mereka.

Pemerintah juga memberi buku-buku literatur anak ke semua murid secara berkala. Sehingga anak-anak dapat membaca dan membahas, mengapa buku itu menang dan apa kelebihan buku itu dibanding buku lain. Apalagi buku literatur biasanya temanya berat dan jumlah halaman ratusan.

Dari semua buku yang diberikan, diadakan lomba per kelas, siapa yang dapat menyimak cerita dengan baik. Tiga pemenang per kelas akan dilombakan lagi per sekolah, dan diambil lagi tiga pemenang. Tanya-jawab diajukan dalam bentuk tulisan dan lisan dan diperiksa oleh tim juri dari guru-guru sekolah itu. Lalu tiga pemenang dari sekolah akan berlomba dengan pemenang dari sekolah-sekolah lain per kota, lalu begitu seterusnya, per wilayah, per provinsi dan sampai tingkat negara. Jurinya tidak hanya guru, tapi juga ahli bahasa dan perwakilan pemerintah. Hadiahnya bukan berupa piala, tapi voucher buku dari sponsor dan beberapa buku dari pemerintah. Anak saya pernah menang di tingkat provinsi dan dia begitu bangga ketika membawa pulang lima buku baru hasil jerih payahnya sendiri.

Gymnasium (10–14 tahun)

Biasanya di usia ini, anak tidak perlu lagi diminta membaca tapi dengan sendirinya senang membaca. Anak menganggap membaca itu suatu kebutuhan diri dan bukan keharusan dari sekolah atau orangtua.

Namun bukan berarti anak dibiarkan sendiri. Minat baca anak terus dipupuk dengan pengadaan buku-buku anak tepat usia di perpustakaan sekolah. Program satu buku per minggu terus ada, tetapi bukunya semakin tebal dan tema semakin berat.

Sebulan sekali anak diminta membuat presentasi buku favoritnya. Apa, mengapa, dan apakah ada adegan yang anak pikir bisa diubah. Setahun sekali ada acara “Lesenacht, anak-anak menginap di sekolah yang diisi dengan membaca dan membahas buku bersama.

Perpustakaan juga mempunyai film-film saduran buku. Sehingga ketika buku tersebut selesai dibaca dan dibahas bersama, murid dan guru menonton filmnya. Setelah itu mereka bahas lagi, apa beda film dengan buku dan mengapa. Contohnya seperti buku-buku di bawah ini.

Dalam tahap ini, bukan hanya anak cinta membaca, tapi anak juga jadi kritis membaca dan menganalisis bacaannya. Hal ini amat membantu anak untuk mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya dan bagi masa depannya.

16 Komentar
Intan Rastini
Intan Rastini March 19, 2018 8:14 am

Bener banget ya konsep untuk membuat anak mencintai buku sebelum mereka bisa membaca..
Saya mau contek programnya "one week one book" dan "book of the month" untuk murid-murid kelas Bahasa Inggris saya.

Kusumastuti F.
Kusumastuti F. March 19, 2018 3:12 pm

terima kasih banyak mbak, semoga makin banyak murid2 yang jadi senang membaca.

Retno Aini
Retno Aini November 20, 2017 6:05 pm

Sukaaa bacanya :D terima kasih uth sharingnya ya mba Uti. Norwegia skrg sedang menjalankan program serupa, meski belum segiat Austria atau Amerika (ya ampun ngiri bener deh kalau dibandingkan dg perpus anak2 di Amerika) tapi semoga nanti bisa sama bagusnya juga.

Kusumastuti F.
Kusumastuti F. November 22, 2017 2:23 pm

terima kasih banyak mbak, dan aminnnn semoga program bacanya makin bagus, hihihi yakin di Norwegia bakal cepat bagus, karena biasanya mutu pendidikan di Scandinavian countries top.

adhisti rahadi
adhisti rahadi November 15, 2017 5:25 pm

Artikelnya bagus banget mbak...
Lengkap sekali ya cara menumbuhkan kecintaan anak pada dunia membaca. Ternyata kalau pengen masyarakatnya cinta baca, negara juga harus serius ngerancang programnya..dan keluarga juga nggak boleh lepas tangan dan menyerahkan ke sekolah.
Thanks for sharing :)

Kusumastuti F.
Kusumastuti F. November 16, 2017 6:53 pm

terima kasih banyak, memang yang harus kerja keras orang tuanya. tiap hari dari anak masih dalam perut bunda, harus rajin diajak "ngobrol" dan diceritakan. negara / sekolah tinggal mendukung apa yang sudah ditanam dan dipupuk orang tua. semoga makin banyak anak Indonesia yang suka baca ya.

Honey Josep
Honey Josep November 13, 2017 2:26 pm

*bintangin artikel ini*

Tfs mama Uti!

Jadi pengingat buat saya harus mulai lebih sering lagi mendongeng buat Dre :)

Kusumastuti F.
Kusumastuti F. November 15, 2017 3:19 pm

sama-sama, semoga lebih banyak anak Indonesia yang juga jadi suka baca ya. Salam buat Dre.

ninit yunita
ninit yunita November 13, 2017 11:22 am

aku termasuk yang percaya kalau semua dimulai dari rumah... dan baca artikel ini... duhhh seneng banget deh. baguuus banget... dan jadi tahu bagaimana sih minat baca di Austria bisa begitu bagus. semoga kita bisa mencontoh ya supaya anak-anak kita juga suka membaca.

Kusumastuti F.
Kusumastuti F. November 13, 2017 2:04 pm

Aminn, semoga makin banyak anak yang suka membaca ya mbak.