Membaca judulnya, ring a bell?
Tahun 2011 silam, Amy Chua menerbitkan buku fenomenal “Battle Hymn of The Tiger Mother”. Banyak kalangan pendidik barat yang habis-habisan mengkritik ‘curhat’ Chua dalam buku tersebut. Di situ, Chua bercerita mengenai caranya, yang disebutnya sebagai “cara Ibu Cina”, membesarkan kedua orang putrinya.
Terbitlah kembali dua kutub yang sebenarnya bukan barang baru: "cara barat" vs "cara timur". Melambangkan “timur” sepertinya akan lebih banyak berpijak kepada tipikal cara hidup sebagian besar orang-orang di Asia.
Setelah lebih dari 2 tahun bermukim di Irlandia, saya kurang sepakat dengan beberapa kalangan yang “mengkritik” tajam sistem pendidikan di tanah air. Sistem pendidikan yang sebenarnya juga dianut oleh sebagian besar negara-negara di Asia.
Saya akan ceritakan sedikit hal-hal menarik yang mudah-mudahan bisa kita tangkap benang merahnya bersama.
Living in (most part of) European countries... tentu berbeda dengan bermukim di negara-negara berkembang padat penduduk seperti Indonesia, Cina, dan India, misalnya.
Dalam hidup bermasyarakat di suatu komunitas tertentu, satu sistem memengaruhi sistem yang lain. Termasuk sistem pendidikan orang Eropa yang katanya bagaikan surga dunia bagi perkembangan anak. Benarkah?
Dimulai dengan hal-hal yang kasat mata. Pendapatan perkapita Irlandia mencapai 46 ribu USD per tahun. Sedangkan Indonesia belum mencapai 4 ribu USD per tahun.
Kalau melihat pendapatan perkapita di Indonesia, serendah itukah penghasilan per-orang tiap tahunnya?
Siapa bilang tidak ada orang-orang dengan penghasilan fantastis di Indonesia? Yang terjadi adalah, kesenjangan sosial ekonomi yang sangat curam. Orang bergaji besar tiap bulannya itu ada. Tapi yang hidup pas-pasan dan mungkin nyaris jatuh ke bawah garis kemiskinan jumlahnya lebih banyak.
Dari pendapatan per kapita tadi, rata-rata setiap orang di Indonesia bisa dibilang punya penghasilan tiga juta rupiah per bulan. Kenyataannya, ada juga profesi-profesi tertentu di kota-kota besar yang gajinya bisa mencapai lebih dari 100 juta per-bulan. Profesi berpenghasilan puluhan juta per-bulan juga ada.
Kontras dengan itu, banyak lapangan pekerjaan yang gajinya sangat minim. Pekerjaan yang biasanya mengandalkan stamina fisik yang tinggi dengan penghasilan sangat kecil. Belum lagi jebakan status karyawan kontrak. Pernah ada teman. seorang lulusan S1 yang terpaksa menerima pekerjaan dengan gaji harian karena beratnya persaingan mendapatkan pekerjaan.
Bayangkan betapa tidak mudahnya masa depan yang harus dihadapi oleh anak-anak kita kelak. Apa yang kita harapkan? Jumlah penduduk sedahsyat ini mau hidup santai-santai seperti orang-orang di Eropa? Realistis saja.
Di Irlandia, dengan pendapatan perkapita sebesar itu, kesenjangan ekonomi sangat rendah. Rentang penghasilan tidak selebar di Indonesia. Antara pekerjaan formal dan non formal pun tidak terlalu menyolok perbedaannya.
Contohnya begini. Di gedung apartemen yang saya tinggali sekarang, saya punya tetangga seorang ibu-ibu asal Polandia. Anak-anak kami bersekolah di tempat yang sama. Setiap pagi sering berpapasan. Belakangan saya sering melihatnya mengepel lantai di mal. Besoknya ketemu lagi ia lagi membersihkan toilet di mal yang sama. Oh, petugas kebersihan di mal. Suaminya ternyata bekerja sebagai seorang satpam di mal yang sama.
Gedung apartemen saya menawarkan fasilitas yang cukup bagus. Lokasinya bersebelahan dengan sebuah hotel berbintang. Dari luar, gedung apartemen saya persis modelnya dengan bangunan hotel di sampingnya. Bayangkan, sepasang suami istri yang berprofesi satpam dan petugas kebersihan juga bisa tinggal di gedung apartemen yang sama dengan kami. Suami saya sendiri berprofesi sebagai seorang telecommunication engineer.
Jadi, pemerataan ekonomi di negara-negara maju Eropa sudah sangat lumayan.
Contoh lain adalah petugas kebersihan di apartemen kami. Namanya Philip. Orangnya gempal dan sudah berumur. Sekali seminggu ia libur. Tiap hari Selasa ia bermain golf bersama teman-temannya. Golf, jenis olah raga yang hanya umum dimainkan oleh orang-orang berada di tanah air.
Tidak perlu saya jelaskan nasib petugas kebersihan di Jeddah atau kondisi pekerjaan selevel satpam di Indonesia.
Itu adalah sedikit dari pahitnya fakta yang harus kita terima sebagai bagian dari negara berkembang. Singkat kata, di negara-negara maju Eropa, menjadi kasir swalayan pun, insya Allah sangat mungkin untuk hidup layak dan bersanding dengan profesi-profesi lainnya.
Fasilitas kesehatan yang mumpuni dan menyeluruh di Eropa tidak harus membuat kita jungkir balik mencari perusahaan tertentu yang mampu menyediakan asuransi bagi kita dan anak-anak.
Tinggal di kota kecil semacam kota tinggal saya yang jumlah penduduknya hanya 20 ribu, tidak susah mencari sekolah. Gratis pula dengan kualitas hampir sama. Tidak ada gedung sekolah yang beratap rumbia atau banjir kalau hujan atau membuat anak-anak menggigil saat musim dingin menghampiri.
Jadi, bagi orang-orang di Eropa, kalau anak-anak mereka santai macam di pantai, ya memangnya kenapa? Di Irlandia, ada fasilitas child benefit dari pemerintah untuk anak-anak sejak mereka lahir sampai usia 18 tahun. Universitas negeri memberikan subsidi bagi warga negara Irlandia. Tidak harus bersaing memperebutkan beasiswa dan tidak mesti punya otak seencer kancil atau prestasi setinggi elang. Beasiswanya buat SIAPA SAJA asal mau kuliah. Sangat memungkinkan karena jumlah penduduk mereka yang sedikit.
Enggan kuliah? Banyak juga yang memilih bekerja di swalayan. Tidak terlalu masalah. Penghasilannya tidak kecil. Dengan jumlah penduduk minim, lapangan pekerjaan cukup memadai. Tidak perlu sampai bersaing melawan ratusan bahkan ribuan applicant melewati rangkaian psikotes, bahasa Inggris, group discussion, wawancara, yang kadang proses seleksinya saja bisa memakan waktu setahun! Ini pengalaman saya dulu, lho, sebelum diterima menjadi karyawan di salah satu perusahaan consumer goods ternama di tanah air.
Anak-anak kita yang tumbuh dan besar di tanah air memang perlu punya sense of competition yang memadai. Kita boleh memuja-muja sistem pendidikan Eropa yang katanya ada yang tidak memberi ujian sama sekali di tingkat pendidikan dasar.
Sistem pendidikan di Skandinavia membuat banyak orangtua di tanah air iri setengah mati. Tapi ingat, di sana rasio guru vs murid berapa? Konon, 5 orang murid dipegang oleh 1 guru. Penduduk mereka sangat sedikit dibandingkan kita. Mungkinkah menggunakan rasio guru dan murid yang sama di Indonesia-India-Cina misalnya?
Di masa depan mereka, anak-anak kita di tanah air memang harus melewati fase-fase seperti itu. Kecuali kalau kita, the Asian Parents, tidak merasa keberatan jika suatu hari mendapati anak kita berkata, “Ah, aku maunya jadi kasir swalayan saja nanti. Kerjanya santai.”
Are we ready?
Konon, Irlandia ini dijuluki sebagai Negeri Zamrud. Indonesia juga. Tepatnya, Zamrud Khatulistiwa.
Bentang alam Irlandia mayoritasnya adalah padang rumput. Rumput memang punya daya tahan yang bagus dalam berbagai musim. Irlandia juga tidak mengenal musim dingin level kronis macam-macam negara-negara di wilayah utara sana.
Curah hujan cukup sering di Irlandia tapi kalau hujan tidak sederas di Indonesia. Sementara di Indonesia, ada wilayah yang kaya dengan hutan hujan tropis nan lebat macam Kalimantan dan Sumatera. Di Sulawesi pun, banyak hutan yang pohon-pohonnya tinggi menjulang.
Sama-sama negeri Zamrud, tapi semesta menciptakan bentang alam yang berbeda. Tergantung musim dan cuaca yang menerpa masing-masing wilayah.
Begitu pulalah seharusnya kita memandang isu-isu kemasyarakatan antar negara dan wilayah. Masyarakat kita ditempa dengan ‘musim’ dan curah hujannya masing-masing. Apa yang mereka lewati mungkin beda dengan apa yang harus kita hadapi.
Jangan sedih jika ternyata kita merasa cobaan kita lebih berat. Percayalah, alam yang keras, jalan kehidupan yang terjal, seharusnya akan membentuk pribadi-pribadi yang lebih istimewa.
Saya setuju bahwa prinsip pendidikan jangan sampai memaksakan terlampau berlebih dan hanya mencetak robot-robot haus prestasi tanpa semangat berbakti. Tapi sekali lagi, secara mental, kita, orangtua Asia, memang harus LEBIH berjiwa petarung. Kondisi kita berbeda.
Anak-anak harus kita persiapkan untuk menghadapi persaingan yang lebih ketat dan berat. Siapa bilang kita harus mengorbankan prinsip-prinsip hidup utama saat menuntun mereka menyongsong masa depan? Tidak juga, kan? Tapi ya jangan terburu-buru ingin mengadopsi rumput-rumput kecil yang dibesarkan dalam dekapan alam yang lebih nyaman.
Hei, bukankah kita memang ditakdirkan untuk membesarkan pohon-pohon beringin? Yang batangnya lebar nan kokoh, dtiopang oleh akar yang kuat, daun-daunnya rimbun dengan cabang-cabang pohon yang tumbuh sampai ke mana-mana. Yang sanggup bertahan dalam terpaan hujan badai dan kemarau panjang.
Untuk membesarkan pohon raksasa selevel beringin, bukankah memang selalu ada harga yang harus kita bayar?
image credit: freedigitalphotos.net
keren banget tulisannya. dari sudut pandang berbeda untuk melihat kelebihan kedua sisi barat dan timur.
Baca artikel ini minggu lalu, tapi belum sempet komen :)
Seperti biasa keren sekali artikelnya dan sangat menginspirasi..jadi makin semangat untuk battle sama kiasu parents di singapur (ngelap keringet)
hehe, iya... pendidikan di Skandinavia memang menganut sistem yang santaaaii sekali. Untuk persiapan masuk SD, saat TK nol besar (kira2 saat berusia lima tahun) salah satunya hanya dibiasakan 'belajar' membawa tas & bekal sehari-hari. Sempat membandingkan dengan di NJ-US, saat anak TK kelas nol besar, di sekolah diberi latihan menulis dan berhitung untuk persiapan masuk SD, meski memang porsinya tidak sebesar les menulis yang anak2 TK di Indo/SG ikuti. Sebagai perantau, jujur saja sih bawaan saya nggak bisa lepas dari a typical asian parents, haha. Nggak sampai ngedrill sekencang Amy Chua sih (belom kuaatt), minimal disiplin jalan terus & berusaha konsisten. Setuju banget sama yang Jihan bilang: sbg orangtua Asia, memang harus LEBIH berjiwa petarung krn kondisi kita berbeda.
Okeee banget mba artikelnya..tfs..sudut pandang lain yang realistis!!
thanks mom Jihan..
harus lebih berusaha tanamkan yang terbaik untuk si buah hati ya :)