Kami sebenarnya bukan orangtua yang sama sekali melarang anak-anak melihat televisi. Mengapa? Kami melihat masih ada beberapa program acara anak yang positif dari segi cerita dan nilai moralnya seperti Ipin Upin, Rainbow Ruby, atau Cloudbread. Tidak kami pungkiri juga, perkembangan bahasa Kakak (4 tahun) ikut berkembang dengan tontonan tersebut. Kosa kata dan imajinasi Kakak berkembang seiring dengan mengikuti cerita-cerita di dalamnya. Kami sebelumnya lebih membatasi akses anak kepada smartphone dibanding televisi, karena jarak pandang ke smartphone lebih dekat dan konten programnya yang bisa sangat luas.
Namun terjadi perubahan signifikan selama dua bulan terakhir ini. Awalnya, Kakak ikut bermain di salah satu rumah kerabat selama beberapa hari berturut-turut. Waktu itu saya sakit, sehingga kerabat kami bersedia menjaga Kakak agar saya bisa istirahat. Pada saat itulah Kakak “mengenal” asyiknya menonton televisi dan betapa banyak sekali acara menarik yang disajikan sepanjang hari. Beberapa program kartun yang awalnya Kakak tidak tahu, ia kenal saat itu.
Setelah itu, Kakak mulai tawar-menawar. Pada awalnya, jadwal menonton televisi Kakak satu jam setelah makan siang dan dua jam di sore hari. Kakak mulai memperpanjang jam tersebut ke acara kartun berikutnya. Padahal acara kartun di stasiun televisi nasional itu banyak sekali lho, jika diikuti semua baru akan selesai pukul delapan malam.
Awalnya saya izinkan dan berpikir akan kembali lagi ke rutinitas lama dengan sendirinya. Namun, ternyata keputusan ini kurang tepat, karena Kakak menjadi sulit “diputus” waktu menontonnya. Akibatnya, usaha mematikan televisi membutuhkan waktu yang lama karena diselingi dengan bujukan, tawar-menawar, dan tangisan. Lama-kelamaan, kegiatan menonton televisi ini jadi menganggu kegiatan lainnya seperti makan, tidur, mandi, mengaji, dan bermain bersama teman-temannya.
Apalagi Kakak kalau sudah nonton televisi terlalu fokus (static viewing), yang ternyata memiliki pengaruh negatif. Saya kesulitan untuk mengalihkan fokus Kakak, karena saya sendiri sering sulit untuk duduk menemani Kakak menonton televisi. Co-viewing adalah hal yang disarankan untuk mengantisipasi static viewing. Namun, ada banyak urusan rumah tangga yang harus dikerjakan dan “mengejar-ngejar” adiknya (1 tahun) yang sedang aktif-aktifnya bergerak.
Setelah menyadari bahwa kegiatan menonton televisinya sudah menganggu dan pada titik yang negatif, akhirnya kami putuskan untuk mencabut instalasi televisi dan menyimpan monitornya serta segala peralatannya.
Apakah Kakak mau menerima dengan mudah? Tidak.
Hari-hari pertama setelah televisi dicabut Kakak menangis meraung-raung meminta televisi dipasang kembali. Ketika diberi pengertian, Kakak pun masih sulit untuk mau menerima. Situasi ini bertahan satu minggu lebih. Saya yang memang ada di rumah sepanjang hari harus ekstra menjelaskan. Konsistensi dan kesabaran benar-benar dituntut selama fase penyesuaian ini. Pernah sampai marah? Mendengar permintaan yang sama dan tangisan yang terus-menerus, capek juga rasanya. Sometime, i lost it.
Orangtua juga mendapat ujian tersendiri. Tidak fair jika anak dilarang menonton televisi, orangtua malah menonton. Saya dan suami bisa dibilang jarang menonton televisi. Hanya program seperti berita dan acara olahraga saja yang menarik bagi kami. Kebutuhan akan berita bisa dengan membaca online atau koran, tetapi pertandingan olahraga yang kemudian menjadi godaan besar. Pada masa penyesuaian ini, kadang ada saja jadwal pertandingan klasik sepakbola atau klub favorit Ayah. Sedang saya sendiri memiliki hobi menonton pertandingan badminton. Solusinya akhirnya “menumpang” menonton, streaming saat malam, atau sekadar membaca hasil pertandingannya.
Memasuki akhir minggu kedua, “tuntutan” untuk menonton televisi dari Kakak mulai berkurang. Kakak mulai menemukan kegiatan pengganti. Kakak menemukan lagi keasyikan “membaca” buku. Sebenarnya Kakak belum bisa membaca, lebih meminta dibacakan, melihat-lihat gambar di halamannya, dan menceritakan kembali dengan bahasanya sendiri. Kesibukan lain, misalnya membuat prakarya dan bermain bersama teman-temannya juga mengalihkan perhatian kakak dari televisi.
Semakin lama, Kakak semakin terbiasa dengan ketidakhadiran televisi. Kakak tidak merengek lagi dan mulai mengerti aturan sebelum bisa diizinkan untuk menonton televisi lagi. Kami sesungguhnya tidak berencana untuk mencabut televisi untuk seterusnya. Namun, saya dan suami sedang mencoba untuk mengevaluasi kondisi saat ini dan kemungkinan yang terjadi jika televisi ini “hadir” kembali. Terutama efeknya pada perkembangan dan rutinitas. Anak-anak mendapatkan nutrisi, waktu tidur, dan bermain yang cukup tentu lebih menjadi prioritas. Sampai anak-anak lebih besar dan mampu mengontrol keinginan untuk menonton televisi, langkah ke depan yang sedang kami pertimbangkan: memberikan waktu menonton televisi hanya di akhir pekan terlebih dahulu.
Wah kakak keren! Salut juga utk mama papanya yg konsisten! Semangaaat
tv dan gadget sama-sama bikin ketagihan untuk anak. Memang harus dibatasi sekali untuk anak-anak agar tidak menjadi kebiasaan. Saya sih belum melakukan cuti menonton tetapi masih mencoba membatasi untuk menonton tv, tidak lama dan hanya di weekend itu pun terbatas jam menontonnya. Sisanya anak-anak bermain dengan mainannya dan membaca buku atau bermain di luar bersama teman-temannya
wahhh kakak hebat! akhirnya bisa dan malah asik baca :) kereeen!!!
ps,
beneeer... tantangannya memang di orangtua yaa :D salut untuk kalian berdua yang bisa melakukan hal ini dengan baik.
doakan kami konsisten mbak Ninit :)
Anakku juga meraung2 waktu saya & suami memberlakukan 'cuti' nonton televisi, hehe. Sekarang dia hanya diizinkan menonton tv di akhir pekan saja, tentunya sebisa mugkin sambil kami dampingi untuk sedikit 'memecah' fokusnya. Bagus sekali infonya ttg static viewing & co-viewing ini, terima kasih ya mama Pipit utk sharingnya :D
semoga kami juga konsisten ya mbak, mendampingi anak nonton TV ini juga susah-susah gampang. kitanya juga tdk boleh asyik sendiri. another temptation buat ortu hehe
Wah, baru mau nulis tentang ini. Minggu ini, tepat dua tahun setelah kami menyimpan televisi. Belum berani mengklaim sejumlah pencapaian anak-anak semata-mata karena kami meminimalkan paparan terhadap televisi (nontonnya paling kalau mudik, bertamu, atau di tempat umum), tetapi kami berpikir setidaknya langkah yang kami ambil adalah bentuk dari usaha sebagai orangtua. Karena sama-sama bekerja, waktu kami untuk anak-anak sudah tidak selalu fleksibel, masa iya kami harus 'berebut' waktu juga dengan TV. Untungnya suami nggak terlalu maniak bola, paling nonton pertandingannya sekitar 3-4 bulan sekali kalau ada yang sangat menarik :D. Saya sendiri kadang nonton untuk keperluan kerjaan atau kalau ada teman yang tampil, tapi itu juga jarang banget. Terima kasih sharing-nya ya, Ma :).
wah mbak Leila sudah lebih lama. semoga kami juga konsisten spt keluarga mbak Leila. saya juga blm bisa bilang program kami ini sudah berhasil "mengentaskan
masalah pertelevisian. apalagi baru mau berjalan dua bulan.mungkin masih akan menghadapi ujian baru.