Ketika Anak Saya Tidak Mau Sekolah

Oleh siscamaya pada Senin, 07 Januari 2013
Seputar Our Stories

Sudah hampir tiga minggu anak sulung saya, Melody "mogok" sekolah. Alasannya "Aku capek, Mami". Cukup masuk akal juga sih, melihat jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh dan melewati beberapa titik rawan macet sehingga ia harus bangun harus sangat pagi, dan paling lambat pukul 6 pagi harus sudah berangkat ke sekolah. Tidak jarang ia tertidur dalam perjalanan ke sekolah. Awalnya saya pikir hanya 2 atau 3 hari saja ia tidak mau bersekolah, tapi ternyata sudah lewat seminggu pun ia tetap ngotot tidak mau besekolah.

Saya lalu mencoba mengajaknya berbicara dari hati ke hati.

Melody: "Aku mau sekolah di rumah saja, Mami yang mengajariku. Di sekolah aku disuruh menulis melulu, aku tidak suka menulis, aku sukanya membaca"
Mami: "Kan di sekolah juga ada membacanya"
Melody: "Aku kan sudah bisa membaca dan menulis, buat apa belajar di sekolah lagi. Aku bosan. Aku mau belajar di rumah saja, kan Mami juga bisa ajarin aku"
Mami: "Melody tidak kangen sama teman-teman sekolah?"
Melody: " Kangen sih Mi, tapi kalau ketemu teman-teman kan tidak harus di sekolah, kita main aja ke rumah mereka."
Mami: "Kenapa sih kog kamu tidak mau sekolah? Apa ada teman teman yang tidak baik sama kamu? Apa guru Melody jahat?"
Melody: "Tidak, semua baik sama aku, tapi aku bosan dan capek sekolah. Aku senangnya belajar di rumah sama Mami."

Jawabannya selalu begitu terus, akhirnya saya putuskan untuk "break" sementara waktu sambil mereview apa sih sebenarnya yang dia cari, sambil saya ajari sendiri saat ia tidak bersekolah. Seminggu berlalu aku melihat kemampuan membaca dan menulis Melody berkembang sangat pesat. Demikian juga pengetahuan yang lainnya, seperti pengetahuan tentang alam, saat ia bertanya "Apa itu tsunami, Mami?" saya berusaha menjelaskan dengan gamblang dan memberikan contoh ketika tsunami menerpa. Lalu pada saat dia bertanya tentang asal-usul telur, bagaimana tumbuhan hidup selain menjelaskan, kami melakukan percobaan kecil tentang apa yang sedang kami bicarakan.

Lalu saya tergoda juga untuk mencoba beberapa soal pelajaran kelas 1 SD, ternyata Melody bisa menyelesaikannya dengan baik. Saya sadar, mungkin metode pembelajaran seperti ini yang Melody inginkan, pada saat benaknya dipenuhi dengan segala macam pertanyaan yang menurut sekolah "belum waktunya diajarkan". Hal itu membuat rasa rasa ingin tahunya terbelenggu dan merasa bosan. Selain itu Melody adalah tipikal anak yang kalau belajar maunya guru itu ada di dekatnya, sehingga bila dia bertanya sang guru akan selalu siap menjawab pertanyaannya. Sementara di sekolah formal tentu saja tidak bisa seperti itu, karena satu guru harus "melayani" berapa belas, bahkan berapa puluh anak.

Akhirnya setelah berkonsultasi dengan beberapa teman, mengenai masalah mogok sekolah ini, saya dan suami memutuskan untuk menerapkan homeschooling, sambil menunggu Melody siap untuk kembali ke sekolah lagi. Kami tidak memberhentikan Melody dari sekolah TK-nya, karena ada kemungkinan ia punya keinginan untuk kembali bersekolah.

Ada terbesit bagaimana nanti SD kalau dia sudah telanjur masuk sekolah formal dan hal serupa ini berulang lagi? Saya dan suami sudah menyiapkan diri untuk menerapkan homeschooling. Karena yang utama bagi kami adalah kenyamanan dan keamanan si anak. Akan menjadi sesuatu sia-sia kalau kami memaksanya untuk melakukan sesuatu yang disukai. Kami bukannya tidak menyekolahkan anak kami, mereka tetap bersekolah menimba ilmu sebanyak banyaknya tetapi dengan jalur yang berbeda. Toh tujuan akhirnya sama, mencerdaskan anak dan menjadikan anak lebih kompeten.

Saya jadi teringat akan sebuah pernyataan: Belajar apa saja yang diminati, belajar di mana saja yang disukai, belajar kapan saja diinginkan, belajar dari siapa saja yang mencerahkan... Karena belajar itu hak, bukan kewajiban. Belajar itu menyenangkan, bukan membebani. Dalam UUD 1945 juga disebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, tidak disebutkan harus melalui institusi formal. Akhirnya hati saya dan suami menjadi lebih lega. Kami tidak terpaku akan paradigma sekolah harus di institusi formal, karena di rumah pun kita bisa menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak kita.

Kategori Terkait


Tag Terkait

13 Komentar
elzahra
elzahra October 29, 2013 10:57 am

Ruby sempat mogok sekolah, tapi lebih karena kelamaan libur, kebetulan antara sekolah dan rumah deket banget. Jadi waktu itu pagi-pagi ruby belum mandi kami ajak jalan ke sekolah sambil lihat teman-temannya main.
Kami bilang "wah asyiknya yah main di sekolah, teman-teman sudah mandi, kakak g kepengen main perosotan tuch"
diomongin gitu dia sempet galau, hehehe
akhirnya dia mau pulang, pengen mandi dan sekolah, telat sich, tapi kami sudah pesan ke bu gurunya

marni uli saragih
marni uli saragih January 9, 2013 2:46 am

melody hebat,dah py karakter :)... quin jg lg mogok sekolah PG,"aq g sekolah,libur aja... skolah nangis" emang klo lg baca Iqro Quin selalu nangis dan ga mau baca.padahal d rumah dia dah sampai hal 11,d sekolah hal 1 aja ga kelar2 :D. akhirnya kami ikuti kemauannya aja,pas pengen sekolah berangkat klo ga mau sekolah quin belajar d rumah ma saya.kebetulan saya SAHM

siscamaya
siscamaya January 8, 2013 3:14 pm

@ Thalia : hehehe, thx mama Thalia :) Melody sekarang umur 7,5. waktu SD dia minta kembali ke sekolah formal, awalnya kami agak deg2 an juga, apakah dia akan mengalami masalah yang sama pada waktu TK, ternyata dia bisa mengikutin kegiatan belajar mengajar di sekolah formal dengan baik, deal saya dengan suami waktu mengembalikan dia ke sekolah normal ini adalah tidak demanding dan maksain apa yang membuat Melody ga nyaman

siscamaya
siscamaya January 8, 2013 3:11 pm

@ sipiki : hahaha, mama papanya cuman berusaha ngikut apa yang bikin Melody nyaman aja kog :)

siscamaya
siscamaya January 8, 2013 3:10 pm

@ Siska Knoch,@Luchia : thank you mama

@ Elisabeth : wahhh eli, kita ketemu lagi malah di sini ya :) Melody sekarang sudah kembli lagi ke sekolah formal, atas permintaannya dia, udah kelas 2 dia. Melukisnya masih li, that's on her blood already :)