Banyak orang tua pernah mengalami hal ini. Libur sekolah yang panjang, anak bosan di rumah, ingin ini itu dan semua perlu biaya. Apalagi harga barang yang ikut naik pada bulan puasa, sehingga musim libur dapat menjadi musim pemborosan uang bagi orang tua.
Sayangnya, banyak orang tua menunda berbicara lugas tentang hal satu ini. Enggan menolak permintaan anak karena “kasihan”, “sayang anak”, “mumpung libur”, “kapan lagi”, dan banyak alasan lainnya. Banyak juga yang beralasan, menunggu sampai anak-anak lebih “dewasa”. Namun, saat ditanya kapan anak dianggap dewasa, biasanya orang tua susah menjawab.
Padahal, membantu anak menolak pemborosan sejak dini adalah tugas kita sebagai orang tua. Karena itu, orang tua perlu mengenal jenis-jenis godaan di dunia anak agar tahu cara mengatasinya.
Godaan No. 1: Teman sebaya.
Meskipun sekolah mengharuskan anak memakai seragam, tetapi ruang untuk pamer tetap besar. Apakah dengan saling membandingkan merek sepatu terbaru, isi goody bags ketika ulang tahun, film terkini yang baru mereka tonton, sampai jenis makanan dan minuman yang sedang berseliweran di sosial media. Semuanya adalah bahasan seru yang kerap mengisi obrolan anak.
Wajar jika si kecil tidak mau ketinggalan. Karena pasti mereka ingin ikut mengomentari temannya. Budaya kita pun mendukung “persaingan” antar teman. Siapa yang pertama kali mempunyai barang terkini menjadi figur yang “dikagumi” (jika tidak dipandang iri) oleh teman-temannya. Kondisi ini semakin menjamur, karena banyak anak takut kehilangan temannya jika mereka tidak mengikuti tren. Akibatnya, obrolan yang tampak “biasa” berakhir dengan keinginan anak untuk meniru apa yang temannya punya atau sudah lakukan.
Tips:
Tentunya orang tua dapat mengatakan, “Teman yang baik adalah teman yang menghargaimu apa adanya, bahkan walau hape-mu butut.” Namun kalimat ini tidak hanya terlalu idealis, anak bisa jadi korban perasaan. Karena merekalah yang setiap hari harus menerima tatapan “iba” dari temannya.
Angkat rasa percaya diri anak dengan mengembangkan bakat dan minatnya. Bedakan kualitas diri dengan merek barang yang mereka pakai. Dengarkan ide-ide dan pendapat mereka, juga ketika mereka memutuskan sesuatu dengan alasan yang kadang naif. Anak-anak yang bahagia dan bangga dengan dirinya, biasanya tidak habis-habisan mengikuti tren. Anak yang jago basket misalnya, sadar bahwa ia sudah menjadi buah bibir teman-temannya bukan karena sepatu barunya.
Jelaskan bahwa membandingkan diri dengan orang lain, selain menguras uang, juga merupakan perang tanpa akhir. Karena selalu ada anak yang lebih dari mereka. Anak-anak yang melulu mengandalkan kelebihan materi sebagai sumber percaya diri, biasanya akan berakhir dengan rasa frustasi. Karena apa yang mereka punya tidak pernah cukup.
Godaan No. 2: Diri sendiri.
Sebesar keinginan anak-anak untuk masuk ke dalam grup teman sebayanya, sebesar itu pula keinginan anak-anak untuk menjadi seseorang yang lain dari yang lain. Mereka ingin menjadi individu yang unik, yang “ter-“, tapi tetap dengan hal-hal yang dapat dimengerti seorang anak. Tidak heran, mereka dengan bangga menunjukkan ke temannya, “Ranselku ada inisial namaku lho, semua sepatuku NIKE asli, barang-barangku pasti berlogo Mickey Mouse, hape-ku pasti bukan android.”
Sayangnya, semakin banyak anak yang tidak dapat membedakan personalitas dirinya dengan barang-barang yang dibelinya. Sehingga mereka semakin banyak membeli barang yang mereka anggap bagian atau gambaran dari jati diri mereka.
Tips:
Dukung mereka untuk mempunyai hobi yang tidak boros. Misalnya bermain musik. Memang orang tua harus membeli alat musik. Namun orang tua cukup membeli alat musik itu satu kali dan tidak berkali-kali. Maksimum yang harus dikeluarkan adalah biaya perawatan alat musik tersebut.
Atau hobi memasak yang dapat dinikmati sehari-hari oleh seluruh keluarga. Atau hobi olahraga yang biayanya tidak selangit. Seperti lari, futsal, basket, voli, catur, berenang, tenis meja, bulutangkis dan banyak lagi.
Jika anak memaksa ingin mengikuti tren berbusana, tunjukkan bahwa “Vintage” mode juga sedang tren. Sehingga anak dapat mendaur ulang busana lama dan mengombinasikannya dengan busana baru. Perlihatkan pula bahwa busana tanpa merek pun, jika dipadupadankan dengan chic, bahkan lebih memukau daripada yang bermerek dan mahal.
Godaan No. 3: Orang tua.
Jujur saja, kita tidak dapat mengajari anak untuk lebih bijaksana dalam menggunakan uang mereka jika kita sendiri tidak pernah (atau jarang sekali) berpikir dua kali tentang ke mana larinya uang kita. Biar bagaimana pun, orang tua adalah contoh utama bagi anak-anak.
Jika orang tua segera pergi ke mal ketika hati sedang kesal, membeli sepatu baru ketika tanda “sale” terpampang, bisa ditebak kalau anak akan berperilaku yang sama. Belum lagi tambahan rasa bersalah meninggalkan anak-anak di hari kerja, membuat akhir pekan menjadi hari belanja bersama. Apapun yang anak minta, pasti diberikan. Bukankah itu alasannya mengapa orang tua bekerja? Sehingga orang tua dapat memenuhi keinginan anak?
Tidak jarang, bukan si kecil yang berkeinginan makan bersama di restoran paling “in” di mall. Atau bukan mereka yang ingin berpesta ulang tahun dengan kue berbentuk istana raja dengan menara setinggi 1 meter. Juga bukan mereka yang ingin barang bermerek dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tapi orang tua mereka.
Tips:
Belajar menahan diri untuk tidak menjadi contoh boros bagi anak. Bedakan antara kebutuhan dan keinginan sesaat. Orang tua dan anak ke salon? Apakah memang sudah waktunya merawat diri, ataukah hanya karena orang tua ingin mencari tempat pelarian dari masalah kantor. Apakah anak benar-benar membutuhkan jins baru karena jins lamanya rusak, atau orang tua membelikan anak jins bermerek sebagai “hadiah” menemani orang tua belanja?
Berhentilah berkeluh kesah kalau ada rekan kerja, tetangga, anggota keluarga lain mempunyai barang baru atau lebih mahal. Apalagi membahas di depan anak, apa saja kekurangan benda yang dimiliki keluarga dan kekalahannya dengan model terbaru milik orang lain.
Usahakan lebih banyak beraktivitas bersama dengan keluarga di luar mal. Bersepeda bersama, berpiknik, menonton film di rumah dapat menjadi pilihan. Kapan terakhir kali orang tua bermain monopoli atau ular tangga dengan anak Anda? Satu kali sebulan kita bisa menetapkan hari bermain bersama bagi keluarga di rumah. Tentunya tanpa banyak uang keluar.
Godaan No. 4: Lingkungan.
Pada zaman modern ini, iklan mengikuti kita (dan anak-anak kita) di mana-mana. Media cetak, billboard di jalan, internet, TV, sosial media semua penuh iklan. Tempat-tempat yang “happening for kids”, mode baju seperti aktor/aktris seakan lumrah buat anak-anak. Hal ini juga mendorong anak-anak untuk bertingkah (dan berdandan) lebih tua dari umur mereka sebenarnya. Biarpun sering bolos sekolah asal dandanan kinclong dianggap sudah cukup untuk menjadi terkenal.
Tips:
Jelaskan pada anak bahwa tidak semua barang yang ada di iklan harus dicoba. Berhati-hati juga untuk iklan jajanan makanan dan minuman. Tidak semuanya sehat. Banyak yang mengandung banyak gula dan zat pengawet.
Beritahu bahwa merchandising items adalah strategi bisnis semata. Ya, anak Anda menyukai film tertentu, tetapi apakah benar perlu dari pakaian, sepatu, hiasan rambut, jam tangan, seprai, tas, handuk, botol minum, kotak roti, sampai tirai kamar tidur bermotifkan film tersebut?
Jelaskan juga bahwa para artis yang mereka lihat berpenampilan memukau di red carpet atau di majalah, di belakangnya dibantu deretan ahli tata rias, desainer, personal trainer yang tidak murah. Itupun biasanya tdak dari kantong sang artis sendiri, melainkan dari perusahaan film yang ingin menjaga image artis dan filmnya. Sehingga tidak perlu si kecil menghamburkan uang demi berpenampilan sama seperti artis, hanya untuk pergi ke pesta ulang tahun teman.
Selain hal-hal di atas, orang tua juga dapat mengajari anak untuk menghargai uang sejak dini. Berikut beberapa tips lain:
- Bicarakan prioritas pentingnya barang yang akan mereka beli. Apalagi jika barang yang hendak mereka beli kurang lebih sama dengan barang yang mereka sudah punya. Misalnya kaos Avenger yang kesebelas atau ransel Disney yang keenam.
- Perkenalkan pentingnya menabung sejak dini. Baik menggunakan celengan di rumah atau langsung tabungan di bank. Jika orang tua menginginkan anak mempunyai “uang plastik”, debit card lebih baik daripada credit card. Karena credit card memberi kesan mereka punyai uang yang tak terbatas.
- Ajak mereka bersedekah. Dengan melihat bahwa masih banyak anak hidup berkekurangan, mereka belajar menyadari bahwa materi bukan segalanya dalam hidup. Mereka juga belajar, banyak hal yang tidak dapat dibeli dengan uang. Misalnya kesehatan, kebahagiaan, dan kasih sayang orang tua.
- Bersama anak mencoba menghasilkan sesuatu yang bisa dijual, misalnya hasil prakarya. Jika anak tahu bagaimana susahnya mencari uang, mereka juga belajar berhati-hati menghabiskannya.
- Jangan lupa memuji si kecil jika mereka berhemat. Tingkatkan rasa percaya dirinya dengan mengatakan, “Hebat! Kamu menggunakan uang hadiah ulang tahunmu untuk ditabung, bukan untuk membeli mainan,” atau “Ayah dan Bunda bangga kamu memilih membeli barang ini, bukan yang mahal, jadi sisa uangmu bisa ditabung.”
Terakhir, jadilah contoh yang baik bagi anak. Tidak boros, selalu awas, teliti membeli, dan pandai memisahkan antara keinginan versus kebutuhan. Dengan demikian orang tua dan anak bersama menangkis godaan dan menolak pemborosan.
Harus dikurangin sih treatment macam gini ke anak, karena takutnya dia jadi terlalu terbiasa untuk dimanjakan dan akhirnya akan culture shock saat atau unjuk rasa saat keinginannya tidak terpenuhi kepada si orang tua. Ada baiknya untuk selalu memberikan arahan kepada anak dimana letak perbedaannya antara "kebutuhan" dan "keinginan".
Terima kasih artikelnya mbak Kusumastuti.
Suka banget bacanya! :)
Kebetulan godaan nomor satu tidak begitu ngefek di anak-anak saya, jadi aman lah. nah godaan nomor dua yang agak susah, karena misal catur dan bolanya mereka sudah jelek atau kebetulan ada yang baru dan lebih keren, pasti deh pada berisik minta ganti. Itu pun mereka biasanya saya minta untuk menabung sendiri untuk membelinya.
Tapi walaupun nggak begitu tergoda dengan barang2 lucu dan beli pakaian banyak2, kami semua lebih sering tergoda dan boros di camilan. Walau sudah bikin juga kadang tetap saja suka beli yang lain. duuhh peer banget kalo ini
Terima kasih mbak Cindy. Kalau boleh usul, mungkin mbak bisa membuat hari masak bersama anak2. Masak camilan kesukaan keluarga. Jadi semua bangga bisa membuat sendiri, lebih sehat karena tahu cara membuat dan bahan2nya, lebih irit dan pastinya membuat hubungan ortu-anak lebih dekat.
bener banget, terkadang orang tua yang terlalu longgar memberikan banyak hal kepada anak karena takut anak tidak terpenuhi kebutuhannya, padahal anak sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Butuh pengertian yang bijak untuk dibicarakan oleh anak. terkadang orangtua lupa sebenarnya anak atau orangtua yang kompetitif? saya rasa orangtua yang lebih kompetitif hehe. Thanks sharingnya mbak.
Sama2 mbak. Iya, sayangnya, seringkali ortunya yang lebih "heboh" ngga mau kalah, tapi jadinya anaknya ikutan.
Artikel ini bagus banget. Boleh gak divote buat jadi article of the month? Aku juga merasakan tekanan yang sama, terutama di lingkungan teman-teman sekolah anakku. Bolak balik dia minta beliin ini itu, mulai dari botol minum yang lagi happening di antara teman-temannya, sepatu, tas, termasuk makan di tempat kekinian. Bahkan dia sampai menangis karena aku dan suami enggak nurutin kemauannya dia.
Terima kasih sudah berbagi mama Kusumastuti...sekali lagi artikel ini bagus banget buat bekal kita sbg ortu menghindari pemborosan.
Terima kasih banyak mbak Imelda dan tentu terima kasih sekali kalau sampai di vote. Tekanan lingkungan memang berat menangkisnya, harus banyak banyak banyak ngobrol sama anak, apa perlu/ tidak beli sesuatu. Terima kasih lagi ya.