Bagi saya, bisa menyusui anak pertama saya hingga 2 tahun lebih adalah anugerah. Sebuah pengalaman yang luar biasa, mengingat tantangan yang ada saat itu. Sejak Ceria masih dalam kandungan, saya memang bertekad untuk memberikan ASI kepadanya hingga ia berusia 2 tahun. Berbekal ilmu yang didapatkan dari kelas ketika senam hamil dan juga dari hasil baca-baca, pada saat itu saya cukup percaya diri kalau nanti saya akan bisa menyusui dengan lancar. Terlebih lagi rumah sakit bersalin yang saya pilih juga memiliki konselor laktasi yang dapat membantu saya nanti belajar menyusui si kecil.
ASI saya dapat langsung keluar pada saat menyusui pertama kalinya. Tetapi, kok ternyata menyusuinya terasa sakit ya? Begitulah kesan saya setelah pertama kali menyusui. Untungnya orang-orang disekitar saya menjelaskan kalau pada awal menyusui biasanya begitu dan konselor laktasi pun turut membantu saya dengan membetulkan posisi saya saat menyusui supaya tidak terasa sakit. Sejak itu rasanya jadi lebih baik.
Tongue-tie & Inverted Nipple
Namun tak berapa lama kemudian, rasa sakit menyusui itu datang lagi. Rasanya seperti disilet ketika bayinya menghisap puting. Dan ternyata puting saya berdarah. Balik ke konselor laktasi, katanya rasa sakit itu karena puting saya yang lecet, mungkin disebabkan karena anatomi puting saya yang ‘mendelep’ (atau sering disebut sebagai inverted nipple), dan bayi saya juga ternyata memiliki kondisi mild tongue-tie.
Oleh konselor laktasi, saya pun diberikan obat salep yang harus dioleskan sebelum dan sesudah menyusui. Tetapi ternyata lecetnya tidak sembuh-sembuh. Lalu kami pun kembali ke konselor laktasi dan menyetujui tindakan insisi untuk menghilangkan tongue tie Ceria.
Bengkak & Mastitis Berulang
Setelah tindakan insisi, rasa sakit saat menyusui ini jadi lebih berkurang. Namun kemudian lecet itu datang lagi. Saat itu saya benar-benar mengandalkan salep yang diberikan dari konselor laktasi. Suatu malam, saya tiba-tiba merasakan badan menggigil entah dari mana. Rasa itu disertai payudara yang sangat penuh dan terasa keras ketika dipegang. Atas saran konselor laktasi, saya disuruh memompa habis payudara saya. Ternyata demam itu disebabkan oleh payudara saya bengkak. Dibantu oleh suami, saya memompa ASI pakai pompa manual namun ternyata susah sekali. Hanya dapat kurang dari 40 ml setelah satu jam! Namun setidaknya, demam itu hilang.
Keesokan harinya saya mengunjungi klinik laktasi lagi. Saya kemudian diajari cara memompa payudara pakai tangan yang katanya lebih efektif daripada pakai breastpump. Karena waktu itu yang bengkak hanya payudara sebelah kanan, maka diagnosa saat itu adalah kemungkinan karena saya terlalu banyak menyusui di sebelah kanan. Adapun payudara kiri saya saat itu masih lecet. Saran dari konselor laktasi adalah menyeimbangkan menyusui pada kedua payudara.
Saya pikir itulah terakhir kalinya saya ke klinik laktasi. Ternyata saya salah. Sejak saat itu saya rutin bolak-balik ke klinik karena bengkak terus berulang setiap 2-3 bulan sekali, bahkan sampai mengalami mastitis (radang payudara) sehingga harus minum antibiotik. Untungnya selama beberapa kali radang masih sempat ditangani sehingga tidak parah dan harus operasi. Mendengar cerita bahwa pada kasus mastitis yang parah bisa sampai bernanah, harus operasi dan bisa tidak bisa menyusui lagi, saya jadi ngeri sendiri. Dan setiap kali bengkak dan radang itu sakitnya, hmm.. lumayanlah, ditambah demam dan anak jadi rewel karena asupan ASI berkurang.
Semua solusi yang diberikan konselor laktasi saya jalani, mulai dari pembersihan pori-pori puting, pijat, suntik hormon sebanyak tiga kali suntik di setiap sesi perawatan, sampai akupunktur. Saking seringnya ke klinik laktasi, hampir semua konselor saya kenal dan mereka pun memberi argumen mereka masing-masing kenapa hal ini terjadi berulang kali. Mulai dari puting lecet yang sangat parah (ada konselor yang bilang saking parahnya, puting saya sudah seperti kawah gunung, hiks), terlalu banyak mengonsumsi makanan berlemak sehingga hindmilk-nya terlalu kental dan sulit dikeluarkan, stress (bagaimana tidak, terkadang kalau mau menyusui rasanya horor duluan, takut sakit), dan kesimpulan terakhir yang akhirnya bisa saya terima adalah karena saluran susu di payudara saya memang kecil sementara produksi susu saya cukup banyak. Pada saat itu, saya tidak tahu harus bersyukur atau malah bersedih karena produksi susu saya banyak.
Sejak itu, saya mulai lebih hati-hati merawat payudara. Ketika saya merasakan payudara sedikit saja penuh, langsung saya susui Ceria. Untungnya saat itu saya sudah tidak bekerja lagi sehingga banyak waktu untuk bisa langsung menyusui Ceria. Atau paling tidak, ASInya saya keluarkan supaya payudara tidak bengkak. Hal tersebut cukup efektif berbulan-bulan, saya tidak mengalami bengkak lagi. Akhirnya saya bisa menikmati secara penuh nikmatnya menyusui.
Kok muncul lagi?
Saat Ceria berusia sekitar 1.5 tahun, saya memutuskan untuk bekerja kembali sementara Ceria mulai masuk ke daycare. Ketika saya hampir melupakan rasanya bengkak, bengkak itu pun muncul lagi! Kali ini karena frekuensi menyusui Ceria yang berkurang dan juga karena rutinitas yang berubah. Biasanya Ceria bisa menyusui kapanpun dia mau, sekarang jadi terbatas dan jadwal memompa saya pun tidak rutin. Salah saya, memang. Karena tempat kerja saya yang jauh dari klinik laktasi, saya pun pindah konsultasi ke klinik di Rumah Sakit St. Carolus. Ternyata metodenya berbeda dengan konselor klinik laktasi saya yang sebelumnya. Di klinik ini, caranya lebih konvensional tidak pakai obat-obatan. Ketika puting saya dibersihkan, dokternya langsung menarik kulit mati yang ada, padahal di klinik sebelumnya selalu dikasih semacam pemati rasa dulu. Sakit? Ya tentu saja sakit. Namun ternyata efektif. Di saat itu, juga saya diajari pijat manual yang lebih menyeluruh daripada pijat sebelumnya yang saya tahu. Dan pijat ini melibatkan pasangan juga. Di resepnya saya harus melakukan pijat yang banyak sekali langkah-langkahnya ini, dibantu oleh pasangan, sebanyak dua kali sehari. Dalam beberapa hari, alhamdulillah bengkaknya pulih dan payudara kembali normal.
Dua tahun pun berlalu. Walaupun agak susah payah, alhamdulillah, niat saya untuk menyusui Ceria sudah terlaksana penuh. Sekarang Ceria sudah berumur 3 tahun dan sudah berhenti menyusu. Insha Allah, dua tahun menyusui lagi akan saya jalani dengan si dedek yang sebentar lagi lahir. Semoga bekal pengalaman saya ini cukup untuk mengurangi tantangan menyusui kali ini. Untuk para mama yang sedang berjuang menyusui seperti saya, tetap semangat! Semoga cerita saya dapat membantu urban mama yang mengalami kondisi serupa.
Wahh nice sharing deh..
Kayak temenku juga ngalamin kayak gini, sama konselor asi nya dia disuruh pompa tiap 2 jam spy cpt kosong jadinya ngak bengkak.
Temenku yg satunya lagi meski nyusuin lgsg tapi tetap jug asi yg berlebih terus dipompa di keluarin spy ngak sakit klo terlalu penuh
Thanks mama - mama semuanya :) :)
I feel you momice... kasus inverted nipple ini memang bikin menyusui jadi extra challenging ya. Thanks ya utk sharing kisahnya, smg jadi penyemangat utk para mama yg punya kondisi sama saat menyusui :)
luar biasa perjuangan momice!
Semoga anak kedua nanti lebih lancar lagi menyusuinya :)
Tfs!
Selalu suka baca inspiring articlel soal menyusui, tfs momice :)