Suka dan Duka Menjalani Long Distance Marriage

Oleh Rebekka Irnawati pada Selasa, 03 Oktober 2017
Seputar Our Stories
Suka dan Duka Menjalani Long Distance Marriage

Saya sedang bermain dengan anak-anak saat suara gemuruh itu datang. Tiba-tiba air mengalir deras di kaki dan saya membuka pintu untuk mencari tahu dari mana datangnya air itu. Ternyata ada ombak setinggi gedung menuju rumah kami, saya memegang Chila dan Lea erat-erat. Saya memanggil-manggil suami, tetapi tidak ada jawaban. Leher saya terasa sakit sekali dan saya pun terbangun. Ternyata hanya mimpi, dan leher terasa sakit karena tertimpa anak-anak yang ingin tidur menempel mamanya sepanjang malam.

Saat itu pukul setengah lima pagi. Saya pun memeriksa ponsel dan sudah ada sapaan pagi dari suami yang bekerja di Papua. Ya, sudah setahun ini kami menjalani LDM atau Long Distance Marriage. Hal ini tidak mudah dan cukup melelahkan, bahkan sampai terbawa-bawa mimpi.

Sebenarnya hubungan beda kota bukanlah hal baru bagi kami, karena dulu sempat berpacaran jarak jauh juga. Dulu sih rasanya punya pacar, tetapi seakan tidak punya pacar. Kangen tetapi tidak bisa bertemu. Nah bagaimana dibandingkan dengan situasi sekarang ini? Sepertinya perjuangan dulu tidak ada apa-apanya!

Chila dan Lea sangat dekat dengan sang ayah. Biasanya mereka akan menunggu ayah pulang kerja, lalu bermain bersama, dan meminta dibacakan buku sebelum tidur. Tak heran saya langsung lemas ketika suami mengutarakan kalau ia harus berangkat ke Papua dan tidak bisa membawa keluarga. Sanggupkah saya? Rasanya tidak mungkin. Suami adalah pendukung utama saya dan saya sangat tergantung pada dirinya. Namun suami menenangkan dan meminta agar saya tidak perlu memikirkannya sampai khawatir berlebihan, cukup dijalani saja.

Setahun berlalu, dan kami berhasil bertahan. Suami saya benar, khawatir tidak menambah apa pun yang bisa mendatangkan kebaikan ke dalam hidup kita. Setiap keluarga pasti memiliki tantangannya masing-masing dan itulah yang membuat keluarga bisa makin menyatu dan saling menyayangi. Tantangan kami saat ini adalah bagaimana bisa hidup berjauhan sambil tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anak.

Berikut ini saya bagikan beberapa hal yang membuat saya kuat dalam menjalani LDM:

Tahu Tujuan

Saat berjauhan di masa pacaran, tujuan kami adalah menikah. Tujuan itu menguatkan kami saat merasa berat menjalaninya. Sekarang ini juga kami memiliki tujuan dan hal itu menguatkan kami sekeluarga saat menjalaninya.

Kurangi Beban Suami

Kita pasti merasa hidup terasa berat sekali karena harus menjaga dan merawat anak-anak tanpa keberadaan suami. Tak jarang terlintas pikiran, suami enak ya, bekerja jauh tanpa menghadapi kerewelan anak. Padahal suami tidak kalah susahnya dengan kita yang ditinggalkan. Ia mengaku sering kangen pada anak-anak. Berat badannya sampai turun 10 kg karena tidak cocok dengan makanan di sana. Belum lagi beban pekerjaan yang cukup berat. Oleh karena itu, saya mencoba sebisa mungkin menyelesaikan berbagai masalah dengan anak-anak di sini. Tahan emosi dan menarik napas dalam-dalam sampai tenang. Bercerita kepada suami dalah keadaan emosi tinggi tidaklah banyak membantu. Malahan saya bisa makin tambah emosi karena suami juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Jelaskan Situasi Pada Anak

Awalnya anak-anak tidak terlalu paham kalau ayahnya akan bekerja jauh untuk waktu yang cukup lama. Lama-kelamaan mereka bertanya-tanya mengapa ayah tidak pernah pulang dan membacakan dongeng. Chila juga sempat murung saat acara sekolah dan semua temannya ditemani oleh ayahnya. Cukup sulit untuk menjelaskannya, tetapi pelan-pelan saya beri tahu sampai akhirnya mereka mengerti.

Memilih Teman dan Pergaulan

Suatu hari ada teman yang berceletuk, “Kok tahan ya berjauhan dengan suami, saya sih gak terbayang deh, memikirkan dia sedang apa di sana sama siapa?” Saya yang awalnya selalu berpikir positif jadi rewel bertanya pada suami dirinya sedang apa dan dengan siapa. Suami jadi tertawa dan saya berpikir betapa sia-sianya pertanyaan itu. Sejak awal kami berdua sudah berkomitmen untuk saling setia dan percaya satu sama lain. Jadi kalau ada orang lain yang berpikir aneh-aneh, biarkan saya ia sibuk dengan pikirannya sendiri.

Lalu di lain kesempatan ada juga yang berkomentar, “Duh, kalau saya sih mending nggak punya uang deh daripada berjauhan sama suami.” Saat itu kebetulan saya sedang kangen berat dengan suami, akhirnya ucapan itu membuat saya sedih seharian.

Situasi ini membuat saya lebih berhati-hati jika ingin berkomentar tentang kehidupan orang lain, karena bisa saja ucapan iseng dan remeh bisa berdampak besar pada orang yang mendengarnya. Lalu saya juga lebih selektif memilih teman bergaul agar bisa menghindar dari orang-orang yang membawa aura negatif dan membuat saya sedih, marah, atau kecewa. Saya harus menjaga suasana hati baik-baik karena hal-hal yang kurang menyenangkan bisa berdampak pada reaksi saya terhadap anak-anak.

Berkumpul dalam Komunitas

Saya senang berkumpul dengan teman-teman yang mengalami situasi yang sama. Biasanya saya suka playdate dengan para mama yang juga sedang berjauhan dengan suaminya karena tuntutan pekerjaan atau menimba ilmu. Dengan begitu saya merasa tidak sendirian. Anak-anak puas bermain, sementara kami bisa saling bercerita dengan teman-teman senasib.

Mengatur Keuangan

Salah satu ujian lainnya dalam menjalani rumah tangga jarak jauh adalah masalah keuangan. Saya harus lebih bijaksana menggunakan uang yang dipercayakan oleh suami untuk saya kelola. Kami juga harus mengubah sedikit anggaran rumah tangga, misalnya dengan menambah pos baru untuk berlibur saat suami libur.

Menjaga Komunikasi

Meski berjauhan, komunikasi harus tetap dijaga. Yang menjadi kendala adalah kalau jaringan sinyal di tempat suami sedang bermasalah. Mau menelepon suaranya kresek-kresek, mau video call, gambarnya putus-putus. Banyak-banyak bersabar dan mencoba saja kalau sudah begini.

  

Hari-hari yang dilalui tanpa suami sambil menjaga anak memang cukup berat, tetapi saya percaya akan ada sesuatu yang manis untuk dipetik suatu hari nanti. Sambil menjalani hari-hari, tidak putus-putus saya panjatkan doa untuk suami dan ini membuat saya lebih tenang. Semangat untuk semua mama-mama yang sedang LDM. Semoga semuanya akan baik-baik saja, Urban Mama! 

17 Komentar
Saski Nugrahani
Saski Nugrahani May 24, 2018 3:32 pm

Makasih bu Rebekka dan Ibu2 pejuang LDM lainnya sudah berbagi cerita ttg pengalaman LDM nya :)
Saya juga mengalami pengalaman serupa (LDM sejak sebelum menikah hingga setahun 4 bulan menikah, namun kami blm memiliki anak). Pengalaman LDM ini memberi insight bagi saya untuk menyusun tugas akhir kuliah (tesis) dgn topik serupa. Saya tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran keluarga yg menjalani LDM khususnya yg memiliki anak usia dini (kisaran usia 0-6 tahun). Apabila Ibu2 di TUM ada yg memiliki kriteria serupa dan bersedia untuk menjadi partisipan penelitian saya, saya mhn kesediaannya untuk me-reply di kolom berikut ya :) Makasih bnyk sblmnya

Miyosi Ariefiansyah
Miyosi Ariefiansyah April 5, 2018 8:03 am

Akhirnya saya ngerasain ldm juga, Bun
Kadang kuat, kadang baperr
Semoga segera ngumpul

Bella Putri Aulia
Bella Putri Aulia March 8, 2018 8:20 am

Pengantin baru dan langsung LDM. Thanks mom mmbuatku tak mrsa sndrian hehe

Ade Fitri
Ade Fitri October 21, 2017 9:32 am

Terima kasih sharingnya mommy.
Saya newbi jalani ldm, mulai kenal suami sampai pnya anak 3. Awalnya berat, dan masih berat sampai skrg (baru mau 3 bln). Terus berdoa dan memompa semangat

Rebekka Irnawati
Rebekka Irnawati October 23, 2017 1:51 pm

semangat ya mama Ade... jgn lupa berdoa supaya kuat

Leila Niwanda
Leila Niwanda October 18, 2017 1:31 pm

Ah, bagian menjelaskan ke anak-anak ituuu.... Apa karena cewek-cewek, ya (samaan kita, Mba), jadi memandang ayahnya itu idola banget dan kalau lagi jauhan suka terang-terangan protes.

Rebekka Irnawati
Rebekka Irnawati October 23, 2017 1:51 pm

iyaa mbaa hahah anak cewe lengket sm bapaknyaa