Awalnya saya mengira kebiasaan memuji anak akan selalu berdampak positif. Nyatanya, dampak dari pujian itu sendiri bergantung pada cara kita mengemasnya, terutama jka ditujukan bagi anak di atas lima tahun. Itulah yang dibahas pada #TUMNgopiCantik bertajuk Parent's Story bersama penulis buku Adhitya Mulya awal Maret lalu. Pada sesi sharing ini, Kang Adhit mengacu pada buku-buku parenting karya Julie Lythcott-Haims dan Christine Gross-Loh serta buku jurnalisme berjudul Outlier karya Malcolm Gladwell. How cool!
Sebagai orangtua, pasti ada keinginan agar anak tumbuh dengan harga diri atau self-esteem yang baik. Salah satu upaya yang lazim dilakukan untuk mewujudkannya adalah memberikan pujian. Sementara pujian yang berasal dari orangtua dapat meninggalkan kesan yang kuat karena berulang bagaikan hipnosis diri. Terlebih di mata anak, orangtua merupakan otoritas tertinggi. Ini berarti orangtua harus lebih berhati-hati dalam berkata.
Ungkapan seperti di bawah ini mungkin pernah kita jumpai atau alami dalam keseharian bersama anak.
"Wah, gambarmu bagus."
(Padahal menurut selera seni Urban Mama atau Papa, gambarnya jelek)
"Kamu memang anak pintar."
Contoh pujian di atas hanya menekankan hasil dan melupakan proses atau usaha. Alangkah baiknya, jika pujian dari orangtua turut menyinggung usaha dari sang anak seperti contoh berikut.
"Gambarmu oke juga, berlatih lebih baik, ya."
(Ungkapkan penilaian apa adanya tanpa menyakiti hati si anak)
"Nggak belajar saja dapat nilai 8, gimana kalau belajar..."
Anak: (sambil menunjukkan nilai ulangan yang sempurna) "apakah mama bangga aku dapat nilai 100?"
Ibu: "Tentu, tapi hal lebih penting, kamu bangga dengan jerih payahmu sendiri."
Pujian dari orangtua harus dikemas dengan tepat untuk menghindari anak tumbuh dengan perasaan "sudah keren sedari lahir" atau sikap superior tanpa usaha yang dapat menimbulkan sejumlah risiko.
Risiko #1: Anak menjadi takut mencoba
Sering kali dipuji berlebihan, anak cenderung merasa dirinya pintar dan tak pernah gagal. Namun sekali waktu menghadapi kegagalan, ia tak mau mencoba kembali.
Risiko #2: Anak cepat frustasi saat menghadapi kegagalan
Realita berkonflik dengan persepsi anak selama ini bahwa ia selalu 'pintar' dan tidak akan pernah gagal. Pernahkah Urban Mama atau Papa mendengar berita mahasiswa bunuh diri karena mendapat nilai yang tidak memuaskan? Bisa jadi sanjungan berlebihan menjadi salah satu penyebabnya.
Risiko #3: Anak merasa tidak berharga dan tidak dicintai bila tidak dipuji
Anak yang kerap kali menerima pujian akan menjadikannya validasi atas keberadaan mereka. Apa akibat dari seseorang yang selalu mengharapkan pujian? Ia akan menjadi antikritik dan kesulitan untuk bertahan di lingkungan sosial yang tak ramah (misal: lingkungan kerja dengan persaingan yang tinggi). Padahal, penghargaan terhadap diri dan proseslah yang berkontribusi pada daya juang anak di luar zona nyaman nantinya.
Sebaliknya, pujian yang menekankan pada jerih payah akan menguatkan karakter anak. Pasalnya, ia belajar bahwa dalam hidup, ada perkara yang lebih berat. Berkat pujian akan usahanya, ia yakin bahwa seberat apapun perkara dapat dikerjakan bila berusaha. Selain itu, anak mudah untuk move on karena terbiasa menerima dan belajar dari kegagalan.
Kesimpulannya, orang tua sepatutnya memuji dengan lebih menghargai usaha yang dilakukan anak ketimbang hasilnya. Ingatkan mereka, para ahli kelas dunia ada pada posisinya saat ini karena giat berlatih. Sebagaimana Kang Adhit mengutip Gladwell, "Seseorang dapat mencapai world class mastery jika ia berlatih kurang lebih 10.000 jam dalam hidupnya."
Sederhananya, "Kamu lihat orang pintar itu? Ia lahir nggak langsung pintar, tapi karena sejak lahir ia nggak pernah berhenti belajar."
Jangan lupa ingatkan anak untuk sempurnakan usaha dengan doa agar ia pantang menyerah dalam prosesnya.
Saya sangat berterima kasih kepada Kang Adhit dan The Urban Mama atas pencerahan yang sangat membuka mata ini. Semoga Urban Mama dan Papa lebih bijak lagi dalam menumbuhkan self-esteem buah hati lewat pujian-pujian yang dikemas secara cerdas.
Makasih Febi untuk sharingnya. Walaupun gak bisa hadir, jadi tetap bisa tahu isi materi yang disampaikan saat acara itu.
Makasih febi sudah dirangkum. Kebetulan ga bisa hadir di acara ini.
seruuu! banyak dapet ilmu baruuuu. yess outlier emang keren banget bukunyaa. thank you Kang Adhit. Seneng banget bisa belajar langsung tentang parenting sama kakang!! thaks TUM selalu mengadakan acara2 yg super cool! luuv
thanks febi atas ulasannya, seru ya denger kang adhit memaparkannya, asli deh kadang kita suka lebay ya sama anak haha.
thanks for sharing Febiii! artikelnya bagus dan lengkap.semoga anak-anak kita nanti percaya pada dirinya sendiri, bangga atas kerja kerasnya sendiri, tanpa perlu harus diyakinkan dari luar.
terima kasih juga udah datang yaaa Feb! :)
Aku yang berterima kasih atas kesempatan dari TUM ini :)
amiiiin
Looking forward for other interesting topics at #TUMNgopiCantik