Komunikasi Efektif, Kunci Saling Percaya dalam Hubungan

Oleh Febi Purnamasari pada Senin, 25 November 2019
Seputar Our Stories
Komunikasi Efektif, Kunci Saling Percaya dalam Hubungan

Alasan terbesar yang membuat saya terkadang enggan bercerita mengenai masalah yang dihadapi dengan orang-orang terdekat adalah respon mereka. Contoh respon yang umum saya terima:

"Baperan banget sih."

"Gitu aja dipusingin."

"Makanya... (diikuti nasihat panjang lebar)."

 

Sebelum saya tahu teorinya, saya selalu merasa kecewa dan kesal ketika mendapatkan respon-respon di atas. Padahal, saya sudah mempercayai mereka sebagai tempat bercerita. Soalnya sebagai seorang introvert, saya sangat selektif memilih teman bercerita mengenai masalah yang saya hadapi.

Parahnya lagi, cara berkomunikasi yang menghakimi sangat dekat dengan perjalanan hidup saya dari kecil hingga menjadi orangtua. Selain mendapatkan respon demikian dari orang-orang terdekat, saya sering kali menjadi pelakunya. Tak jarang, saya meninggikan intonasi ketika anak-anak tidak mendengarkan dan refleks menasihati saat mereka mengabaikan peringatan.

"Tuh kan udah dibilangin..."

"Makanya..."

 

Inilah pola pengasuhan masa lalu bernuansa negatif yang berhasil menguasai diri, dan saya berusaha keras untuk terlepas dari jeratannya. Cara kita berkomunikasi khususnya dengan orang-orang terdekat memang dipengaruhi kondisi emosi diri dan pola pengasuhan masa lalu.

Saya mulai sadar pola komunikasi tadi keliru setelah kunjungan-kunjungan pertama saya ke psikolog maupun psikiater. Biasanya, setelah curhat panjang lebar ke tenaga-tenaga ahli tersebut, saya merasa jauh lebih baik. Sampai akhirnya orang-orang terdekat mengetahui kecenderungan saya bertandang ke psikolog ketika sedang sangat stres dan terlontarlah komentar:

"Ngapain sih ke psikolog? Buang-buang duit aja."

"Curhat tuh sama Allah saja."

Saya setuju sekali, kita perlu berdoa dan mengadu pada Sang Pencipta tak terkecuali ketika ada masalah. Saya pun selalu melakukannya. Namun, Allah mungkin saja memberikan petunjuk lewat hamba-hamba-Nya, bukan? Saya merasa perlu berikhtiar lebih untuk menyelamatkan diri saya sendiri.

Tak hanya membuat saya merasa lega mencurahkan seluruh uneg-uneg di hati, psikolog maupun psikiater juga menunjukkan empati kala mendengarkan cerita saya. Respon mereka:

"Pasti rasanya enggak enak banget, ya, kalau..."

"Saya pernah berada di posisi kamu..."

"Kamu sudah melakukan hal yang tepat."

"Kamu hebat telah..."

Coba kita bandingkan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Ada perbedaan yang cukup kontras, kan?

 

Komunikasi efektif vs komunikasi tidak efektif

Nah, sebulan belakangan ini saya sedang menjalani pelatihan online sebagai Rangkul alias Relawan Keluarga Kita. Dari pelatihan yang dijalani, saya kemudian menyadari bahwa ketidakpercayaan saya untuk bercerita ke orang-orang terdekat bersumber dari paparan komunikasi yang tidak efektif.

Contoh komunikasi efektif vs tidak efektif menurut Pemerhati Pendidikan Najelaa Shihab dalam bukunya, Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik, adalah sebagai berikut:

1. Nasihat: "Makanya, tas diperiksa tiap kali mau berangkat ke sekolah. Jangan malas." (TIDAK EFEKTIF)

Upaya menasihati menunjukkan bahwa orangtua merasa anak tidak bisa berpikir sendiri. Selain itu, nasihat cenderung membuat lawan bicara malas untuk memperhatikan.

Refleksi pengalaman: "Aku juga dulu pernah ketinggalan PR, takut banget waktu ditanya guru. Akhirnya aku selalu periksa ulang tas sebelum berangkat." (EFEKTIF)

Pada saat anak mendengar kita juga pernah melakukan kesalahan, ia melihat sosok yang berbeda dan menjadi lebih memperhatikan.

 

2. Interogasi: "Kok, pulangnya malam banget? Kenapa mukanya kesal begitu? Punya HP, kok enggak diangkat?" (TIDAK EFEKTIF)

Interogasi biasanya refleks terlontar karena kita menginginkan jawaban yang cepat. Cara berkomunikasi seperti ini juga terkadang menggambarkan, kita yakin lawan bicara kita berbohong atau berbuat salah.

Menyatakan observasi: "Pulangnya malam banget, kelihatannya capek, ya? Mau minum apa?" (EFEKTIF)

Pengamatan justru akan memantik percakapan atau penjelasan.

 

3. Menolak atau mengalihkan perasaan: "Masa’ dibilang ‘enggak becus’ aja baper..." (TIDAK EFEKTIF)

Menunjukkan empati: "Pasti rasanya sedih sekali ya, ketika orang lain menyepelekan kemampuan kita." (EFEKTIF)

Empati berarti merespon ekspresi perasaan seseorang dengan cara memposisikan diri seperti dirinya tanpa membenarkan maupun menyalahkan. Empati berarti menganggap hal yang dirasakan lawan bicara adalah hal yang wajar dan penting untuk dibicarakan. Orang yang curhat sebenarnya tidak membutuhkan nasihat atau tips. Ia hanya membutuhkan perasaan tidak enaknya diterima dan dimengerti.

 

4. Perintah: "Mandi sekarang!" (TIDAK EFEKTIF)

Berikan pilihan dan antisipasi: "Kita akan berangkat ke rumah nenek satu jam lagi. Mau selesaikan bermain sampai alarm berbunyi lalu mandi atau mau langsung mandi?" (EFEKTIF)

"Kamu boleh bermain, tapi paling lambat jam 5 sore sudah di rumah, ya." (EFEKTIF)

 

Menurut Bu Najelaa yang akrab disapa Ela, perintah boleh diberikan dalam situasi tertentu saja. Misal, di waktu-waktu mendesak saat kita butuh memberikan perintah. Namun perlu kita ingat, semakin banyak perintah, efektivitasnya akan berkurang.

Selain itu, Yulia Indriati, mentor pelatihan Rangkul yang saya ikuti, mengungkapkan penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak mendapatkan perintah ratusan kali setiap hari dari bangun tidur, berkegiatan di sekolah, sampai hendak tidur. Kebayang kan, betapa kewalahannya anak-anak kita? Alih-alih memerintah, berikan pilihan pada anak agar ia lebih berdaya.

Karena itulah dalam hal memerintah anak, pikirkan mendalam hal yang betul-betul esensial dan tidak dapat dinegosiasikan.

Bila kita amati, pola komunikasi tidak efektif pada menekankan pada penyampai pesan karena kurang mendengarkan dan lebih banyak bicara. Akibatnya dalam keluarga, rasa saling percaya tidak tumbuh dalam hubungan dan anak atau pasangan tidak belajar cara berkomunikasi dengan baik.

Jadi, jangan sampai komunikasi yang tidak efektif menjadi pilihan sehingga alih-alih membantu, kita malah menjadi penghambat ketika hendak membangun percakapan yang positif.

Selain itu, apa saja yang perlu kita sebagai orangtua ketahui untuk menerapkan komunikasi efektif? Nantikan di tulisan saya selanjutnya ya, Urban Mama!

Febi Purnamasari

A new mother of two who loves sharing whatever she has learned from seminars and books especially related to parenting issues. She’s now developing her career path as journalist for a national television. Belly-dancing is her hidden obsession.

0 Komentar