Mengungkit Jasa

Oleh Adhitya pada Rabu, 13 Februari 2019
Seputar Our Stories
Mengungkit Jasa

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang dengan seorang bekas teman kuliah, seorang banker (seorang suami dan bapak juga). Perbincangan kami cukup ringan sampai ia bercerita tentang keresahannya. Ia tidak merinci orangtua siapa yang dimaksud, tapi keresahannya cukup mendalam. Ia resah dengan gejala beberapa orangtua yang mengungkit pengorbanan mereka untuk anak-anak, hanya untuk kemudian mendapati bahwa anak-anak mereka tidak tahu balas budi.

Apa yang ia resahkan, mungkin beresonansi dengan beberapa dari kita, orangtua muda. Orangtua muda dengan demografi kita (usia antara 25 sampai 45) kebanyakan masih memiliki orangtua yang hidup dan anak yang masih menjadi tanggungan kita. Ini membuat posisi kita menjadi unik. We are parents, and yet still a child to our parents.

Sebagai orangtua, bagaimana sebenarnya kita menyikapi gejala ini? Sebagai anak, pasti sesekali kita pernah berada dalam kondisi yang (terlepas dari siapa yang salah) membuat orangtua kita berkata "Bapak sudah capek-capek kerja, kamunya gini-gini... atau gitu-gitu."

Atau, kita pun sebagai orangtua, pernah kesal pada anak kecil kita, "Papa mama cari uang itu susah, kamunya gak mau les piano..."

"Tahu gak, Papa sudah capek-capek cari uang, kamunya kurus gini, gak mau makan."

I don’t know, but I’m guessing once in a while, we said those words... and our parents said these words to us.

Pertanyannya, dalam konteks hak dan tanggung jawab orangtua dan anak, apakah mengungkit seperti itu, pantas untuk seorang anak dengar dan pantas untuk orangtua ucapkan? Di mana batasannya? Apa yang membuat orangtua (kita) pantas mengucapkan itu pada anak?

Jawabannya berada dalam beberapa pakem parenting di bawah ini:

1. Semua pasti setuju, bahwa tugas dan tanggung jawab orangtua adalah mencari nafkah semampu kita, untuk keluarga kita. Terlepas dari bagaimana kondisi anak kita, ini adalah kewajiban kita. Bagi bapak dan muslim ini adalah satu dari beberapa pertanyaan yang malaikat akan tanya dalam kubur. Jadi, terlepas dari bagaimana pun reaksi dan kondisi anak kita, kita haruslah mencari nafkah. Terlepas dari anak kita kurus atau tidak, pintar atau tidak, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mencari nafkah. Termasuk dalam definisi nafkah adalah, membukakan sebanyak mungkin kesempatan untuk sang anak.

Contoh: seorang bapak hanya lulusan SMA. Ia setengah mati mnecari nafkah, karena nafkah itu yang akan membukakan kesempatan bagi sang anak untuk belajar S1, atau bahkan sampai S2.

Nafkah adalah kewajiban orangtua. Bukan sesuatu yang lantas pantas kita ungkit-ungkit.

2. Sekarang, mari kita telaah apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab anak. Semua pasti setuju bahwa dalam keluarga, tugas dan tanggung jawab utama seorang anak bukanlah mencari nafkah. Semua orangtua pasti setuju bahwa, jika orangtua tidak tidak perlu dibantu perekonomiannya, sang anak tidak perlu turun tangan. Lebih baik konsentrasi belajar. Tanggung jawab sang anak adalah, memakai semua pintu kesempatan yang kita sudah dengan susah payah bukakan untuk mereka.

Dari kedua pakem ini, sudah jelas, sebenarnya. Tugas kita adalah mencari nafkah untuk membuka kesempatan dan sang anak, menggunakan kesempatan itu. Agar suatu hari ini, mereka menjadi lebih baik dari kita, dan dengan mandiri mengulang siklus kehidupan serupa dengan anak mereka.

Jika anak kita malas, atau ignorant atau menyia-nyiakan kesempatan yang kita sudah bukakan, maka ya, menurut saya, adalah pada tempatnya kita berkata "Bapak sudah capek-capek XXX, kamunya malas."

Kenapa? Karena malas dan menyia-nyiakan kesempatan adalah musuh dari kesuksesan. Waktu tidak berdetak ke kiri, kesempatan kedua pun jarang datang. Apa pun posisi kita dalam hidup (sebagai anak, sebagai orangtua) janganlah kita pernah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan, hanya karena malas. Ini yang kita tanamkan pada anak sedini mungkin.

Contohnya, tidaklah pantas untuk seorang anak bilang "Aku mau pulang aja Pa, dari Sydney, di sini aku gak betah." Semua pengorbanan uang dan waktu orangtua untuk menyekolahkan anaknya, sirna hanya karena bagi anak, beradaptasi ternyata tugas yang terlalu berat baginya.

Namun, jika kita sudah melihat bahwa anak kita sudah berusaha, sudah menggunakan kesempatan yang kita usahakan dan masih gagal, tidaklah pada tempatnya untuk kita berkata hal yang sama.

Contohnya, kita tahu anak kita sudah belajar sungguh-sungguh. Saat tes masuk Perguruan Tinggi, ia ditolak dari semua pilihannya. Atau, kita sudah keluar biaya agar ia ikut  kompetisi yang mahal. Walaupun sudah memberikan yang terbaik, ia gagal di semifinal. Ia sudah memanfaatkan kesempatan yang kita bukakan untuknya. Bagi saya pribadi, lelahnya saya mencari nafkah, untuk memberikan kesempatan yang lebih baik untuk anak, terbayar saat ia sungguh-sungguh berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Jika berhasil dengan gemilang, itu adalah achievement baginya, dan bonus kebahagiaan bagi saya.

Apakah pilihan sikap ini berarti kita terlalu lembek pada anak? Pilihan sikap di mana yang penting bagi kita adalah usaha dan bukan kesuksesannya? Tidakkah orangtua berhak memasang ekpektasi pada anak?

Menurut saya, ini bukan parenting lembek. Mengapa? Karena banyak dari kita yang sering mencampuradukkan dua hal yang berbeda di sini. Yaitu: Tanggung jawab anak kita pada kita adalah: dia harus memastikan dia menggunakan kesempatan yang kita berikan. Sedangkan menjadi sukses, adalah tanggung jawab pada dirinya sendiri. Karena mentalitas yang ingin kita bangun adalah, ia harus mengejar sebuah kesuksesan (juara sesuatu, expert dalam sesuatu, prestise dalam sesuatu) untuk membuktikan pada dirinya sendiri – bukan orang lain. Pembuktian pada diri sendiri bahwa ia bisa. Bukan kepada orang lain. Pembuktian pada dirinya sendiri bahwa dengan terus mencoba dan belajar dari pengalaman, ia dapat menjadi orang yang lebih baik dari dirinya kemarin. Proving to themselves, that there is no limit to his potential, if he just try and use every opportunity and resource available to him. Dari sanalah, seorang anak membangun his/her true self-esteem.

In short, this is what children and parents need to understand:

Children owe it to their parents to cross the finish line. But they owe it to themselves, to be number one.

8 Komentar
Angie Renata
Angie Renata February 13, 2019 10:34 am

Makasih Kang udah ngingetin. Bagus artikelnya.

ekakusmaya
ekakusmaya February 13, 2019 9:48 am

Hobi mengajar les menghadapkan saya pada realitas “mengungkit jasa” ini di banyak keluarga, hal yang umum terjadi. Kadang tidak terhindarkan, meski sangat baik jika bisa tidak dilakukan bagaimanapun kondisi anak.
Menurut saya, sebenarnya ini berawal dari masalah kesenjangan, bahwa orang tua baik karena rasa tanggung jawab/secara tidak sengaja “menitipkan ambisi” menjadi mem-push dirinya berkorban terlalu banyak yang seringkali diluar kemampuannya, sedangkan anak karena faktor usia sehingga belum banyak mengerti tentang sulitnya hidup termasuk mencari uang,
Maka solusinya,
1. Orang Tua lakukan sesuai kemampuan saja&jangan berharap terlalu tinggi pada anak, hidup anak baik nasib,bakat,pola pikir,ujian&kemudahannya bisa jadi sangat berbeda bidang dengan orang tua,
2. Jelaskan pada anak seberapa kemampuan orang tua secara baik-baik, dan terus doakan kebaikan,
3. Ajarkan pada anak, berlatih untuk berkemampuan lebih, bukan semata untuk menang misalnya, begitu pula belajar, karena ilmu yang lebih banyak akan menolong kita memiliki kemampuan yang lebih pula kelak. Yang sering saya lihat, selama orang tua konsisten menunjukkan bahwa kebaikan itu akan kembali kepada anak&bukan ambisi orang tua, maka anakpun akan jauh lebih bersemangat,
4. Orang Tua & anak sama-sama belajar ikhlas untukmenerima hasil, mendukung anak yang berhasil dengan pujian namun tetap ajarkan rendah hati sehingga tidak menjadi “ketagihan/haus” pujian/pengakuan seterusnya, juga mendukungnya kala gagal bahwa berlatih saja lagi, toh kemenangan bukan tujuan utama kan?

Nike Adijana
Nike Adijana February 13, 2019 9:13 am

Aku begini :( dan akan berubah. Dulu ortu, ortunya ortu gini ke aku jadi aku juga gitu, baca artikel ini jadi sadar kalau apa yang aku lakukan salah.

Wulan Hermawati
Wulan Hermawati April 25, 2018 4:33 pm

Kalau menurutku sih apapun kondisinya nggak pantes kita sebagai orangtua ungkit2 apa yg sudah kita lakukan/berikan untuk anak, misal "mama udah capek2 mengandung dan melahirkan kamu..." atau "papa sudah capek2 kerja..." Hello, did our kids even ask to be born? Kitalah yang memilih untuk menghadirkan mereka ke dunia ini. Ya kita juga yg harus bertanggung jawab untuk membahagiakan dia, our kids don't owe us anything (menurut aku sih).

Ada teman kuliah aku yg orangtuanya dikit2 bikin dia guilty karena ngomong seperti itu, mama sudah ini kamu malah gitu, mama tuh udah kerja capek kamunya malah gini padahal mama juga nggak ada uang berlebih... dan tau nggak si teman ini ngomong apa? Di puncak kekesalannya dia bilang, "ma kalau aku bisa milih, aku juga nggak mau jadi anak mama. aku akan pilih orangtua lain yang lebih kaya dan lebih sayang sama anaknya."

It sounds harsh, isn't it? But the ugly truth is, saat orangtua mengungkit2 'jasa'nya, it's kinda harsh, too. Membesarkan anak itu bukan jasa, tapi kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Dan kalau kita mendidik mereka dengan baik, aku yakin mereka juga bisa merasakannya, nggak perlu diungkit2 segala :)

Woro Indriyani
Woro Indriyani October 18, 2016 3:53 pm

Self reminder banget sebagai orang tua ataupun anak, artikelnya bagus banget :)