Apa pun yang namanya kehilangan bukanlah hal yang menyenangkan. Kehilangan apa saja termasuk kehilangan orang tercinta, salah satunya adalah anak, baik karena keguguran, meninggal dalam kandungan, atau meninggal saat sudah lahir di dunia di usia berapa pun itu. Kepergiannya selalu akan menyisakan kesedihan mendalam terutama untuk ibu yang sudah mengandungnya. Saya pernah mengalami itu. Tidak hanya sekali, tetapi hingga dua kali.
Saat mengandung Nadhifa tahun 2010, sebenarnya saya mengandung bayi kembar. Dokter kandungan mengatakan bahwa saya mengandung bayi kembar laki-laki dan perempuan. Saya dan suami sangat bahagia mengetahuinya. Namun saat kandungan memasuki usia 20 minggu, saya terkena sakit tifus yang mengharuskan saya harus rawat inap agar pengobatan lebih intensif. Seminggu pasca rawat inap saat kontrol, dokter kandungan mengatakan salah satu bayi saya tidak berkembang dan meninggal di kandungan. Kabar yang sangat mengejutkan untuk seluruh keluarga, terutama saya. Saya sangat terpukul. Saya sedih dan bingung bagaimana saya harus menjalani kehamilan dengan satu bayi masih bertahan dan satunya sudah meninggal. Akhirnya berkat dukungan suami dan keluarga besar serta kontrol kandungan yang lebih ketat daripada ibu hamil normal lainnya, Nadhifa bisa bertahan dalam kandungan hingga usia 33 minggu. Nadhifa lahir selamat melalui operasi caesar pada bulan Maret 2011 berbarengan dengan kembarannya. Bersyukur sekali kondisi Nadhifa sehat walafiat dan normal hingga sekarang.
Musibah kembali datang saat menjalani kehamilan kedua di tahun 2015. Seminggu setelah ulang tahun Nadhifa yang ke-4 di bulan Maret 2015, janin dalam kandungan yang seharusnya sudah berusia 10 minggu tidak berkembang. Mentok hanya sampai usia 8 minggu. Saya kembali terguncang. Bahkan lebih hebat mungkin. Saya lebih tertekan dan sedih. Saat itu saya merasa seperti orang yang terkena gejala depresi. Mood swing, emosi labil, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan orang lain. Saya merasa diri saya tidak mampu menjalankan kehamilan dengan baik dan telah membuat kecewa banyak orang, terutama Nadhifa yang sudah saat ingin memiliki adik. Keadaan seperti itu saya rasakan berlangsung kurang lebih dua minggu sejak menjalankan operasi kuret. Berusaha ikhlas namun sulit sekali.
Saya seperti melewati lima fase penyikapan kehilangan seperti yang diutarakan oleh Elizabeth Kubler Rose (1965):
- Fase tawar menawar (bargaining), ketika saya sudah sedikit bisa menerima kejadian dan berkeluh kesah pada Tuhan “mengapa kejadian ini menimpa saya?”
- Fase marah (angry), saat saya marah pada diri sendiri karena tidak bisa menjaga kehamilan.
- Fase penyangkalan (denial), saat saya tidak menyangka akan mengalami kejadian kehilangan tersebut.
- Fase depresi, saat saya sempat menjadi lebih pendiam dan gelisah.
- Fase penerimaan (acceptance), saat setelah beberapa lama kemudian saya perlahan mulai bisa ikhlas dan kembali dapat menjalani hari-hari dengan baik.
Saya yakin bahwa saya tidak sendiri, banyak juga yang pernah mengalami nasib sama seperti saya. Bahkan mungkin sekali ada yang lebih menyedihkan lagi. Tapi intinya satu, namanya kehilangan anak akan menyakitkan rasanya. Seperti kehilangan harapan, katakanlah demikian.
Bagaimana akhirnya saya bisa melewati semua fase itu? Tentunya ini tidak terlepas dari dukungan keluarga. Dukungan terbesar dan paling utama datang dari suami saya. Suami saya sama terpukulnya, tetapi ia tampak lebih tegar dan dapat menguatkan saya. Tidak hanya suami, tetapi juga orangtua, kerabat dekat, dan teman, saat itu mereka dapat menghibur saya dengan kalimat dan kontak fisik seperti pelukan. Mereka biarkan saya menangis dulu, memberi kesempatan saya untuk melampiaskan emosi, hingga pada akhirnya saya tenang dan mereka dapat menguatkan saya. Mereka mengingatkan saya untuk selalu ikhlas dan kuat. Bagaimana hasilnya? Saya sudah jauh lebih tenang dan kuat sekarang. Walaupun itu masih menyisakan rasa takut untuk kembali hamil. Namun saya berharap rasa takut saya segera pergi dan dapat memberikan Nadhifa seorang adik.
Saya menyadari, kehilangan adalah hal menyakitkan, tetapi kehilangan bukan berarti pergi selamanya. Anak yang telah berpulang ke pangkuan-Nya justru menjadi penguat untuk sang ibu bertahan dan mengambil hikmah positif. Ibu yang kehilangan dapat belajar arti ikhlas yang sebenar-benarnya.
Maka untuk yang pernah mengalami seperti saya, mungkin kita bisa sama-sama mengambil sisi positif dari momen kehilangan ini. Bagi yang hingga sekarang masih dalam keadaan terguncang, saya berharap agar segera bangkit. Carilah dukungan moril dari sekeliling, kembalilah sibuk beraktivitas. Dan satu yang paling penting dan mujarab, perbanyaklah doa kepada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan kekuatan.
image credit: freedigitalphotos.net
@ Mbak Aini: terima kasih Mba :)
*peluuukk* Thanks ya mba Novianthi utk berbagi ceritanya di sini. Dulu saudaraku mengalami hal yang sama, kita yang menemani selama pemulihan aja sedih nggak kepalang... apalagi para mama yg mengalaminya. Semoga mba Novianthi sekeluarga selalu diberi kekuatan n kesabaran. Insha Allah ada hikmahnya & smg sharingnya jadi penyemangat bagi para mama yang pernah mengalami hal serupa.
@ Mba Cindy: terima kasih mba :)
@ Mba Makesa: alm. kembaran Nadhifa masih bertahan di perut dan dikeluarkan lewat operasi cesar berbarengan dengan kelahiran Nadhifa (Nadhifa lahir prematur 33 minggu karena sudah kontraksi). Selama alm. kembarannya di perut, saya harus menjalani pemeriksaan lebih sering, tes darah rutin untuk mengecek pembekuan darah, dan lebih menjaga kesehatan. Begitu mba :)
Maaf mba, stlh kembarannya meninggal apa perlakuannya? Apakah didiamkan saja di dalam kandungan sampai usia 33minggu lalu dikeluarkan bersama?
Baca artikel ini sukses meneteskan air mata.
Terimakasih mba Novi yang sudah berbagi ceritanya disini,semoga mba Novi sekeluarga selalu diberi kekuatan.
Juga mudah-mudahan artikel ini menjadi penyemangat untuk mama-mama lain yang pernah mengalami hal serupa.
*peluuuk*