Anak saya yang ke-2 baru saja berulang tahun yang ke-2. I have reached the moment when all I hear is, "No!" Ucapan "No" di hampir setiap tawaran-ajakan-pertanyaan-himbaun padanya disertai dengan kedua tangan dilipat ke arah dada. Syukur-syukur dia tidak pakai buang muka.
Dalam dunia parenting, istilah "the trouble 2" ini cukup populer. Narda, si jagoan kecil ini, punya perangai yang berbeda dengan kakaknya, walaupun sama-sama laki-laki. Termasuk perkembangan motoriknya.
Nabil, kakaknya, biarpun terlihat sangat lincah dan supel, tapi lumayan penakut. Narda, meskipun sekilas kelihatan kalem, pemberaninya jangan ditanya.
Usia 10 bulan dia sudah lancar berjalan. Usia 13, dia sudah berlari. Cenderung terlambat berbicara dibandingkan kakaknya yang sangat verbal. Kakaknya agak takut ketemu air. Narda sekali dibawa ke kolam renang, mengamuk luar biasa saat diangkat dari kolam untuk ganti baju. Dia berani meloncat dari atas sofa ke lantai di usianya yang masih 15 bulan. Kalau kakaknya iseng mengajaknya memanjat-manjat, Narda tak pernah gentar. Kakaknya sudah turun karena takut lebih tinggi lagi, dia terus merangkak naik.
Nabil lebih mudah diarahkan. Diberitahu apa saja kemungkinan besar akan menurut. Dia takut gelap dan takut bila ditinggal.
Narda berbeda sekali. Dia suka ngambek tidak mau naik ke stroller saat akan dibawa untuk menjemput kakaknya di sekolah. Saya sebal. Saya tinggal saja dia di depan pintu apartemen, saya pura-pura akan meninggalkannya sendiri dengan harapan dia akan terbirit-birit mengikuti saya. Kenyataannya, dia malah berlari menjauh ke arah sebaliknya. Olala, waktu sudah makin sempit, direpotkan pula dengan mengejar bocah ini di sepanjang lorong lobi gedung apartemen. Jadilah saya mesti setengah berlari sambil mendorong stroller agar tak terlambat tiba di sekolah.
Kalau sedang berdinas di dapur saya inginnya dia dekat-dekat saya. Tapi dia kadang ingin bermain di dalam kamar. Saya pura-pura tutup pintunya dengan nada mengancam. Berharap dia akan berteriak-teriak menangis dan minta ikut. Lama saya tunggu. Pas pintu dibuka lagi, dia berdiri menantang dengan wajah keras. Boro-boro menangis ketakutan.
Terdengar menggemaskan, ya? Tapi percayalah, mengurusi kedua balita super aktif ini, saat nun jauh di negeri rantau, tak punya asisten sama sekali, kadang menjadi 'cobaan' tersendiri buat Mama-nya yang memang terkenal dengan stok kesabaran yang pas-pasan. Sebagai manusia biasa, tak jarang saya merasa putus asa dan meradang.
***
Ibu saya pernah bilang, "Dada waktu kecil dibawa naik perahu menyeberang laut. Menangis terus sepanjang perjalanan."
Ibu bercerita tentang kakak saya yang nomor 4. Katanya lagi, saking kesalnya mau dibuang ke laut saja rasanya. Kakak saya yang ini cengeng sekali kata Ibu. Apa-apa mesti minta gendong.
Lain lagi dengan kakak saya nomor 2. Waktu memasuki usia sekolah, susah payah Ibu membujuknya untuk ke sekolah.
"Kalau tidak mau sekolah, nanti jadi tedong," ancam Ibu (tedong = kerbau, bahasa bugis). "Biarmi jadi tedong," jawab kakak saya sambil menangis. (Biarmi = biar saja, logat Sulawesi).
Saya pun bukannya tak pernah berulah. Perkenalkan, si kecil Jihan yang pundungan luar biasa. I'm a picky eater as well. Saking pemilihnya, waktu kecil sakit-sakitan. Kalau sakit, rewel luar biasa. Kalau mood lagi jelek waktu bangun tidur di sore hari, habislah isi lemari baju saya lemparkan semua ke lantai!
Saat kami semua telah dewasa, saya perhatikan Ibu selalu menceritakan semua kerusuhan yang kami buat saat kecil sambil tertawa-tawa. Tak ada rasa menyesal sama sekali.
***
Saya pernah membaca sebuah kisah populer via internet mengenai dialog seorang anak dengan Tuhan sebelum dilahirkan ke dunia. Sang anak mengungkapkan kegundahannya atas semua hal-hal yang akan dihadapi di dunia barunya nanti. Tuhan menjawab dengan sabar semua pertanyaan si anak dengan, "Tenang saja. Sudah kusiapkan seorang malaikat di dunia untukmu. Seseorang yang akan kau panggil... Ibu."
Menurut cerita itu, Ibu adalah malaikat untuk anak-anaknya. Betulkah?
Di sebuah seminar parenting yang pernah saya hadiri (pesertanya sebagian besar ibu-ibu), fasilitator bertanya kepada kami, "Ibu-ibu, anak itu banyak meminta atau banyak memberi?"
Tanpa dikomando, jawaban kompak kami bergema di seluruh ruangan, "Meminta..."
Tiga kali fasilitator bertanya dan kami tetap bersikeras pada jawaban kami, anak-anak lebih banyak meminta. Kami diminta mengeluarkan hp, masuk ke folder foto, memilih foto anak kami, dan memandanginya lama-lama. Sejenak, seisi ruangan hening. Fasilitator mulai bersuara lagi, "Bayangkan kalau wajah yang Anda pandangi di foto itu sedang sakit. Sakitnya parah. Sampai Anda harus melarikannya ke rumah sakit. Ternyata, takdir tak berpihak pada kita. Anak anda dinyatakan..."
Belum selesai ucapannya, suasana hening buyar dengan tangisan Ibu-ibu peserta tadi.
Ah, kita semua terkecoh. Bukan kita malaikatnya. Merekalah malaikat-malaikat kecil yang dihadirkan di dunia untuk membawa kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya. Jangankan membayangkan bila Tuhan mengambil kembali titipan terindahnya ini, melihat mereka sakit saja, nyawa rasanya sudah hilang separuh.
Kalaupun ternyata kita yang harus pergi lebih dahulu, mereka bisa dirawat oleh siapa saja. Perlahan, apalagi jika usianya masih sangat kecil, mereka mungkin sanggup menghapus bayangan ibunya. Tapi bila dibalik, Ibu mana yang sanggup membayangkan ketiadaan anak-anaknya? Sejak dua buah garis muncul di selembar testpack saja, kebahagiaan seorang (calon) Ibu sudah sedemikian membuncah-buncah.
Lagi-lagi kita terkecoh. Anak-anak tak pernah meminta dilahirkan. Justru kehadirannya yang memberikan banyak sekali hal yang sebagian besarnya berlabel "kebahagiaan."
Waktu kecil mungkin mereka akan terlihat bagai monster mini. Apa-apa minta ditemani. Apa-apa harus diajari. Makannya pun mesti dijaga. Seperti saya, berjalan kaki ke mana-mana makin terasa repot karena ada mereka dalam stroller.
Tapi saya ingat lagi cerita Ibu. Waktu Bapak sudah tidak ada, Ibu kerepotan mencari teman untuk dibawa ke undangan karena waktunya sebagian besar di malam hari. Waktu masih kecil-kecil, semuanya heboh minta ikut. Begitu sudah ABG, sudah punya kesibukan sendiri.
Waktu masuk TK sudah ada yang tidak mau tangannya digandeng. Malu pada guru dan teman-temannya. Yang tadinya tak bisa tidur kalau tidak dipeluk sama Mama. Ke sekolah pun sudah minta jalan sendiri. Tak senang lagi bila kepalanya diusap-usap, apalagi dipeluk dan dicium.
Ibu-ibu yang kerepotan dengan balita, bersabarlah.
Sebuah puisi kecil ini (disalin dari sebuah gambar via internet) mungkin bisa menjadi bahan renungan:
I won't always cry 'mommy' when you leave the room,
and my supermarket tantrums will end too soon.
I won't always wake, daddy, for cuddles through the night,
and one day you'll miss having a chocolate face to wipe.
You won't always wake to find my foot kicking you out of bed,
Or find me sideways on your pillow where you want to lay your head.
You won't always have to carry me in asleep from the car,
Or piggy back me down the road when my legs can't walk that far.
so cherish every cuddle, remember them all.
Because one day, mommy, I won't be this small.
***
I don't know who the author is, but I do love this poem.
We need to remember to love this stage of life, saat mereka masih kecil dan segala yang mereka lakukan seringnya terasa sebagai beban semata. As challenging as it may be, dont worry... because one day, they won't be this small.
Takkan lama waktunya saat kita yang terduduk memandangi foto-foto kecil mereka, berharap mereka akan berlari ke pelukan kita setiap saat. Meminta waktu menerbangkan kita ke masa lalu. Kembali ke masa kecil mereka.
Seize the day, Mommies :). You don't know what you miss when it's gone.
***
*nahan tangis
tq artikelny mba jihan.... *telat
Betul mbak, merekalah malaikat malaikat kecil. Iya, kudu lebih sabar, namanya juga anak anak. Seize the day, amin.
nyeseeeek... nie article.. tq mba jihan
baru baca artikel ini, daleeemm banget..tks ya mom
jadi pengen cepet nikah dan punya anak ,,,langsung nangis bca artikel ini.. aku ngerasa dulu aku punya adek yang slalu pengen ikut kmana aku pergi, dan sekarang dia udah gede dan ga mau lagi ikut,,berasa sepi..